"Akibatnya tekanan selisih kurs akan membuat beban utang meningkat signifikan. Apalagi ada risiko kenaikan tingkat suku bunga, ini akan membuat Indonesia harus membayar bunga utang baru ke depannya," kata Bhima.
Ia juga meragukan efektivitas penggunaan utang untuk membiayai infrastruktur.
Sebab porsi belanja pemerintah yang paling gemuk saat ini masih berada di belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang. Sementara belanja modal masih tertinggal di urutan belakang.
"Lagipula kalau sekedar membanggakan utang untuk oli pembangunan, ya namanya kurang kreatif itu. Hati-hati berakhir seperti Sri Lanka kalau utang terlalu agresif, sementara pembangunan infrastruktur nya bermasalah," ucap Bhima. "Ini akan membuat Indonesia harus membayar lebih mahal bunga utang baru ke depannya."
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengklaim bahwa utang pemerintah Indonesia saat ini adalah yang terkecil ketimbang negara-negara lainnya.
Proporsi utang pemerintah Indonesia yang hanya 40 persen dari produk domestik bruto (PDB) terbilang jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara maju yang proporsi utangnya bisa mencapai 100 persen.
"Kami minta bapak-bapak dan teman di daerah jangan dengar bicara aneh-aneh dan tidak jelas, karena pemerintah tahu benar yang dilakukan," ujar Luhut, Senin, 8 Agustus 2022.
Selain itu, kata Luhut, utang pemerintah yang nilainya lebih dari Rp 7.000 triliun merupakan utang produktif.
Sebab, utang tersebut di antaranya digunakan untuk membiayai pembangunan jalan tol.
Ia pun berpesan kepada masyarakat agar tak mudah ditipu oleh banyaknya informasi yang salah.
Pemerintah dalam berutang, menurut Luhut, sebelumnya telah berhitung dengan seksama, termasuk di dalamnya bagaimana menghitung return on investment-nya. (*)