TUTUP
Nasional

Soal Jokowi Bangun IKN, Faisal Basri: Urgensinya Bukan Pindah Ibu Kota

Admin
23 October 2022, 9:53 AM WAT
Last Updated 2022-10-24T07:18:37Z
 Faisal Basri (Foto: Tempo.co)

JAKARTA - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri menanggapi langkah pemerintah yang tetap ingin membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) meski di depan ada ancaman resesi global.


Dia meminta pemerintah tak buru-buru membangun ibu kota baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dan menyarankan agar lebih fokus pada instabilitas sosial.


“Bukanlah aib memindahkan ibu kota. Tapi ada masalah mendasar yang kita hadapi adalah sense of urgency-nya. Urgensinya bukan pindah ibu kota,” ujar Faisal, saat ditemuai di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta Timur, Kamis, 20 Oktober 2022, dilansir Tempo, Ahad, 23 Oktober 2022.


Menurut dia, Indonesia akan menghadapi tantang berat, meskipun ada kemungkinan tidak mengalami resesi. 


"Berdasarkan pengalaman menunjukkan bahwa jika ekonomi dunia resesi, maka Indonesia tidak. Alasannya, Indonesia keterkaitan dengan ekonomi dunia relatif kecil," kata Faisal.


Dia mencontohkan misalnya global financial crisis 2008, saat dunia mengalami resesi dengan pertumbuhan ekonomi -1 persen, Indonesia angkanya 4,6 persen, bahkan nomor tiga tertinggi di dunia. 


Namun, tantangan saat ini sangat berat. Salah satunya nilai rupiah terhadap dolar Amerika melemah—sudah Rp 15.500—efeknya membayar utang dalam mata uang asing ikut naik.


“Jadi beban utang naik, bunga, belum ditambah cicilan. Cicilan itu bisa dibayar dengan utang lagi, gali lubang tutup lubang, tapi kalau bunga enggak bisa,” ucap Faisal.


Bahkan, dia memprediksi bayar bunganya bisa melonjak lebih dari 20 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. 


“Itu sudah berat, sehingga akan membuat ‘ruang’ bagi masyarakat semakin sedikit. Karena membayar bunga utang itu wajib, jika tidak Indonesia bisa mendapatkan penalty atau hukuman," jelas Faisal.


Menurut ekonom lulusan Vanderbilt University, Amerika Serikat itu, naiknya suku bunga disebabkan oleh inflasi yang terus naik. 


Indonesia saat ini, kata dia, sudah hampir 6 persen (5,95 persen), dan akan terus menanjak, bahkan kemungkinan bisa mencapai 7 persen. 


Faisal menuturkan hal itu disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina yang masih terjadi.


“Sebentar lagi setahun, tahun depan bisa jadi makin mengerikan perangnya, yang menyebabkan ketidakpastian global itu masih sangat tinggi,” tutur Faisal.


Tantangan lainnya, Faisal menyebutkan, climate change yang semakin gila-gilaan. Dampaknya bisa mempengaruhi harga pangan, karena banjir dan kekeringan ekstrem. 


Produksi pangan turun, bahkan setiap negara mengurangi ekspornya dan menambah pasokan cadangan. 


“Syukur panen beras kita bagus terus. Tapi beras bagus, gandumnya gimana, itu makanan pokok kedua setelah beras,” kata Faisal. “Kalau naik semua, ujungnya kan menaikkan suku bunga, suku bunga naik, beban utang nambah lagi.”


Kondisi perusahaan-perusahaan saat ini masih kesulitan akibat dampak dari pandemi Covid-19. Dia menjelaskan hal itu bisa dilihat dari kondisi penerbangan yang masih jauh dari pulih. 


Bahkan Faisal menceritakan penerbangan ke Semarang yang sebelumnya belasan kali, kini hanya dua kali satu hari. “Makanya saya kalau keluar kota harus nginep.”


Faisal menjelaskan, dunia usaha belum pulih dan akibatnya penerimaan pajak masih rendah sementara pengeluaran naik terus. 


”Pengeluar pajak kan ‘daging’, utang makin membesar, tadi beban utangnya naik,” kata dia.


Angka kemiskinan di Indonesia juga menjadi tantangan.


Seingat Faisal, jumlah penduduk dengan pengeluaran per harinya di bawah Rp 35 ribu jumlahnya lebih dari 60 persen, yang merupakan kategori rentan miskin. 


Berbeda jauh dengan Malaysia yang masyarakat rentan miskinnya hanya 2 persen dan Thailand hanya 6 persen.


Dengan kondisi seperti sekarang ini dan tantangan resesi global, kata Faisal, angka penduduk rentan miskin di Indonesia juga bisa naik menjadi 70 persen. 


Selain itu, penduduk usia muda 15-24 tahun di Indonesia yang mencari kerjaan tapi tidak dapat angka 17 persen. 


“Tertinggi di ASEAN,” ucap dia.


Menurut Faisal, semua kondisi yang disebutkan itu merupakan  instabilitas sosial, ditambah lagi jurang kaya miskin semakin melebar. 


Sehingga dia menyarankan, jika mendapatkan rejeki lebih baik jangan dipakai untuk yang non esensial, tapi ditabung untuk menghadapi kemungkinan yang sudah semakin terang akan terjadi yaitu resesi. 


“Jadi sosial instability ini bahaya. Kalau enggak (bisa) kolaps,” tutur Faisal.


Sebelumnya, Presiden Joko Widodo alias Jokowi tak sungkan berinteraksi dengan para investor dalam acara jajak pasar atau market sounding untuk menawarkan investasi di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. 


Kepada para pengusaha dalam negeri, Jokowi meyakinkan bahwa peluang investasi di ibu kota anyar di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, itu terbuka lebar.


"Investasi terbuka lebar, mau di mana? Di sebelah mana? Di kawasan inti, ya harganya beda. Ada financial center, healthcare center, education center, silakan," kata dia di Djakarta Theater, Jakarta Pusat, Selasa malam, 18 Oktober 2022.


Kepala Negara mengatakan bahwa dirinya memberikan kesempatan yang pertama kepada investor. 


"Ini kesempatan emas yang tidak terulang lagi," kata dia. "Kurang apa lagi? Kalau masih ada yang belum yakin jadi kurang apa lagi? Tidak perlu lagi untuk dipertanyakan."


Dia juga menegaskan pindah Ibu Kota bukan sekadar memindah gedung kementerian, Istana Presiden, atau memindahkan gedung Istana Wakil Presiden. 


Menurut Jokowi, pemindahan ini bukan soal fisik, tapi yang ingin dibangun adalah budaya kerja baru, mindset baru, dan ekonomi baru.


Indonesia sebagai negara besar, Jokowi berujar, harus berani melangkah punya agenda besar, ini demi kemajuan negara. 


Jika tidak berani transformasi dari sekarang sampai kapanpun Infonesia akan sulit menjadi negara maju. 


"Ini saatnya mencatat sejarah Indonesia dan melakukan lompatan untuk menjadi pelaku sejarah Indonesia masa depan," kata Jokowi. (*)

close