TUTUP
TUTUP
Ekonomi

Jokowi Naikkan Harga BBM Subsidi, Ekonom: Kebijakan Salah Sasaran dan Cari Gampangnya Saja

Admin
07 September 2022, 10:50 AM WAT
Last Updated 2022-09-07T12:15:56Z
Demo tolak kenaikan BBM di daerah (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Kebijakan Presiden Jokowi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan alasan karena sekitar 70% subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat mampu, disebut pengamat ekonomi sebagai upaya yang 'tidak tepat dan salah sasaran'.


“Ini seperti targetnya menyembuhkan batuk, tapi yang diobati panu. Salah sasaran, dan kebijakan mencari gampangnya saja,” kata pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi, dilansir BBC News Indonesia, Senin (5/9/2022).


Alih-alih meningkatkan harga BBM, menurut Direktur Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira, pemerintah harus melakukan pembatasan dan pengawasan ketat dalam penyaluran BBM.


“Kesalahan dalam pengelolaan, pembatasan hingga pengawasan oleh pemerintah, malah dibebankan kepada seluruh masyarakat,” katanya.


Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter A Redjalam mengatakan, subsidi BBM tidak sekadar dilihat dari nilai transaksi jual beli di SPBU, tapi pengaruhnya ke perekonomian yang melindungi kelompok miskin.


Menanggapi itu, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan, kenaikan harga akan menyediakan ruang fiskal lebih leluasa untuk belanja yang lebih produktif, termasuk juga melakukan perbaikan dalam sasaran pengguna BBM.


Sebelumnya, Kementerian Keuangan mengatakan, risiko beban subsidi tanpa kenaikan harga menjadi Rp698 triliun, dari alokasi saat ini sekitar Rp502 triliun.


Kini setelah harga BBM subsidi dinaikkan, anggaran untuk BBM diprediksi tetap membengkak menjadi Rp650 triliun - meningkat lebih dari empat kali lipat dibanding anggaran APBN 2022 sebesar Rp152,5 triliun.


Artinya, selisih anggaran BBM dinaikkan dan tidak berada di bawah Rp50 triliun.


Keluhan masyarakat bawah, ’mereka yang salah hitung, kami yang menanggung’


Pengemudi ojek online asal Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Suriadi Sinamo, kecewa dengan keputusan pemerintah menaikan harga BBM.


"Aku pikir begini, kalau alasan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi karena banyak dipakai orang mampu, kenapa malah menaikkan harganya? Seharusnya pengawasan diperketat. Bukan malah harganya yang dinaikkan," kata Suriadi.


Pada Sabtu (03/09) lalu, Presiden Joko Widodo resmi mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi.


Salah satu alasan yang disampaikan Jokowi adalah 70% BBM subsidi selama ini dinikmati oleh kalangan warga yang mampu secara finansial.


Alasan lain di antaranya adalah peningkatan tajam anggaran subsidi dan kompensasi tahun anggaran 2022 dari yang awalnya Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.


Sederet alasan di atas membuat Suriadi semakin heran.


"Inilah yang lucunya itu. Mereka yang salah hitung-hitungannya, tapi malah menaikkan harga BBM. Ini kan yang dirugikan rakyat kecil seperti kami. Kenapa mereka yang salah tapi justru kami yang dirugikan?" katanya.


Menurut Suriadi, yang mendapat penghasilan Rp50.000 - Rp70.000 per hari dari menarik ojek online, menaikkan harga BBM di tengah kondisi perekonomian yang belum pulih akibat pandemi Covid-19 hanya akan memperburuk keadaan.


"Saya cuma bisa berdoa supaya pemerintah sadar dan membatalkan kebijakan itu. Kalau seperti ini, saya yakin banyak masyarakat yang hidupnya sulit akan semakin sulit," ujarnya.


Senada, Irwan Gumanti, warga yang terdaftar sebagai calon penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) mengatakan, menolak kenaikan BBM.


Namun, dia hanya bisa pasrah terhadap kebijakan itu.


"Sebenarnya kalau dibilang mencukupi (BLT BBM Rp600.000), ya tidak. Tapi kalau memang begitu keputusan pemerintah, ya mau bagaimana, saya orang kecil," kata warga Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara itu.


Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menyebut keputusan menaikkan harga BBM merupakan bentuk ketidaksesuaian antara masalah dan solusi.


Ditambah lagi, katanya, kenaikan harga tidak akan menyelesaikan akar permasalahan dari ‘kecanduan akan BBM’.


“Kebijakan ini tidak tepat sasaran. Misalnya targetnya menyembuhkan sakitnya batuk, yang diobati panu.” Kata Fahmy.


Fahmy mengartikan kalau masalahnya 70% penyaluran BBM tidak tepat sasaran, "kenapa sasaran itu yang tidak fokus diselesaikan dulu? Bukan malah dengan menaikan BBM”.


Fahmi menambahkan, ketika pemerintah mampu melakukan perbaikan dengan melakukan pembatasan dan pengawasan penggunaan BBM maka beban subsidi dapat diminimalisir, tanpa perlu menaikan harga BBM.


“Contoh, tetapkan pembatasan Pertalite dan solar hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum. Lalu masyarakat mampu itu dipaksa migrasi ke Pertamax,” katanya.


 Senada, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengatakan, sejak 2014 hingga sekarang, pemerintah selalu menggunakan narasi yang sama, yaitu dinikmati orang yang mampu saat menaikkan harga BBM.


“Dari 2014 sampai sekarang, tidak ada upaya perbaikan pendataan ataupun pembatasan. Pertalite digunakan semua kalangan, solar bocor ke industri yang tidak berhak. Jadi yang dilakukan pemerintah selama ini apa?” kata Bhima.


Solusi menaikkan harga di tengah gagalnya upaya pemerintah dalam mengontrol penggunaan BBM, menurut Bhima, merupakan mekanisme yang tidak kreatif dan tetap akan membuat APBN jebol.


“Kesalahan pengelolaan kebijakan BBM akhirnya dibebankan kepada seluruh masyarakat dari berbagai kelas, dari yang tidak punya kendaraan, kelas miskin, menengah rentan, hingga 64 juta UMKM. Semua terkena dampaknya,” katanya.


Dibandingkan kenaikan harga BBM, kata Bhima, pemerintah harusnya melakukan upaya pembatasan penggunaan BBM karena memiliki efek yang jauh lebih kecil dan terlokalisir terhadap perekonomian masyarakat.


Harga Pertalite naik 30%.


Selain itu, kata Bhima, pemerintah juga masih memiliki ruang fiskal dalam menjaga harga BBM.


Dia mencontohkan, dengan memangkas anggaran hingga membubarkan kementerian/lembaga yang menjadi beban negara.


Kemudian memangkas proyek-proyek infrastruktur yang masih dalam tahap studi kelayakan.


“Atau dengan renegosiasi utang melalui DSSI (Debt Service Suspension Initiative) dalam G-20. Jadi sebenarnya banyak cara kreatif,” katanya.


Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter A Redjalam juga mengaku tidak setuju atas pernyataan bahwa 70% BBM subsidi dinikmati kelompok mampu.


“Ini kesalahan ‘komunikasi’ yang disuarakan pemerintah, tidak tepat,” katanya.


Menurutnya, kelompok miskin lah yang sangat merasakan dampak besar dari subsidi BBM.


“Menikmati subsidi BBM tidak harus membeli BBM. Lebih dari itu, subsidi berperan membuat inflasi relatif, harga tidak melonjak, pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dan terbuka lapangan kerja. Itu siapa yang menikmati? Kelompok miskin,” katanya.


BBM naik, anggaran tetap bengkak


Dalam wawancara dengan CNBC TV, Senin (05/09), Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, walaupun telah dilakukan kenaikan harga BBM, anggaran untuk subsidi dan kompensasi tetap akan membengkak.


Suahasil mengatakan, dengan kenaikan harga Pertalite dan solar, pemerintah memperkirakan anggaran meningkat menjadi Rp650 triliun, melebih anggaran saat ini sebesar Rp502,4 triliun.  


Sementara jika BBM tidak dinaikan, pemerintah mengestimasikan anggaran mencapai Rp698 triliun hingga akhir tahun.


Perkiraan subsidi itu dihitung berdasarkan kuota Pertalite 29 juta kiloliter dan solar 17,4 juta kiloliter, harga minyak dunia dan nilai tukar mata uang.


Terdapat selisih hampir Rp50 triliun jika BBM dinaikan dan tidak.


Dalam kesempatan terpisah sebelumnya, Suahasil juga mengatakan anggaran subsidi dan kompensasi akan jauh lebih bermanfaat apabila dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan pembangunan.


“Rp502 triliun kalau pakai bangun rumah sakit dapat 3.000, bangun sekolah dasar dapat 227.000, atau dapat 41.000 puskesmas. Atau kalau dipakai untuk jalan tol dapat 3.500 km jalan tol,” kata Suahasil.


Sebelumnya, pemerintah memutuskan menaikan tiga harga BBM Sabtu (03/09).


Pertalite naik dari Rp7.650 menjadi Rp 10.000/liter.


Harga solar subsidi dari Rp5.150 ke Rp 6.800/liter, dan Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500/liter.


Presiden Jokowi mengatakan, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun ini telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun.


"Dan lebih dari 70% subsidi justru dinikmati kelompok masyarakat mampu, yaitu pemilik mobil pribadi," ujarnya,


"Sehingga pemerintah harus membuat keputusan yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah," ia menambahkan.


Presiden menyebut, Pemerintah akan menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM sebesar Rp12,4 triliun kepada 20,65 juta keluarga.


Selain itu Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp3,5 juta.


Presiden juga memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan 2% dana transfer umum yaitu sebesar Rp2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum, bantuan ojek online, dan untuk nelayan.


Pemerintah: Sasaran dan pembatasan akan dilakukan


Menanggapi kritikan ekonom tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan terdapat prioritas jangka pendek, menengah, dan panjang yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi beban anggaran subsidi BBM.


“Dalam jangka pendek, kebijakan menaikkan harga BBM akan menyediakan ruang fiskal yang lebih leluasa untuk belanja yang lebih produktif,” katanya melalui pesan singkat.


“Menaikkan harga termasuk dalam perbaikan sasaran. Kalau konsumen mayoritas kelompok mampu, maka yang menanggung kenaikan adalah masyarakat mampu. Dan yang tidak mampu dibantu dengan bantalan sosial BLT BBM,” ujarnya.


Yustinus menambahkan, pemerintah juga akan melakukan upaya pembatasan, pengawasan dan lainnya agar penyaluran BBM subsidi tepat sasaran.


Selain keputusan menaikan BBM, asal dana untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp502,4 triliun juga mendapat kritikan.


Alokasi subsidi yang berjumlah Rp208,9 triliun digunakan untuk subsidi BBM dan LPG sebesar Rp149,6 triliun, serta subsidi listrik Rp59,6 triliun.


Kemudian, dana kompensasi berjumlah Rp293,5 triliun dialokasikan untuk BBM sebesar Rp252,5 triliun dan listrik Rp41 triliun.


Anggota Komisi VI DPR, Rieke Diah Pitaloka, mempertanyakan angka kompensasi tersebut merujuk pada nomenklatur Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2022 hanya tertulis subsidi BBM sebesar Rp14,5 triliun.


Menurutnya, tidak ada nomenklatur untuk kompensasi BBM.


Subsidi dan kompensasi adalah dua metode bantuan yang berbeda, walaupun sama-sama menggunakan dana APBN.


Subsidi adalah transfer dana dari pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan harga dari nilai keekonomian sehingga masyarakat mampu mendapatkan barang atau jasa tersebut.


Contohnya adalah subsidi untuk BBM solar, LPG 3 Kg dan listrik.


Sementara, kompensasi adalah dana yang dikeluarkan pemerintah ke badan usaha atas kekurangan penerimaan perusahaan karena menanggung selisih harga jual.


Kompensasi diberikan kepada Pertamina dan PLN.  


Menanggapi itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa seluruh subsidi diaudit oleh BPKP sebelum dilakukan pembayaran.


Artinya, lanjut Sri Mulyani, BPKP akan melihat volume, biaya produksi, dan perbedaan antara harga yang diatur dengan harga yang terjadi.


Senada, Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo dalam akun Twitternya menjelaskan, subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun tercantum dalam lampiran IV Perpres tersebut.


Sementara untuk alokasi kompensasi sebesar Rp293,5 triliun (ditambah bantuan lain sehingga menjadi total ekonomi Rp301 triliun) terletak di Lampiran IV bagian 999.08, yang merupakan subbagian anggaran Bendahara Umum Negara (BUN) yang dikelola Menkeu.


Anggaran itu, kata Prastowo memiliki fungsi sebagai cadangan untuk keperluan tertentu, salah satunya adalah pembayaran kompensasi tarif listrik dan BBM.  (*)

close