![]() |
Contoh aksi penimbunan tongkang batu bara |
BANDARLAMPUNG - Warga pesisir pantai Waylunik, Kecamatan Panjang, Bandarlampung makin resah dengan aktivitas penumpukan batu bara yang dikelola oleh PT Sumatera Bahtera Raya (SBR) secara ilegal.
"Masyarakat di sini sebetulnya sudah mulai resah, apalagi sejak enam bulan terakhir areal para nelayan untuk mencari ikan mulai dibatasi sementara tangkapan ikan juga kian menurun," kata salah satu warga Sukaraja, Afidah (48), di Bandarlampung, kemarin (2/9).
Ia menjelaskan, keresahan warga itu sulit untuk diutarakan, mengingat sebagian besar warga setempat telah mendapatkan sejumlah fasilitas dari perusahaan, seperti rencana pembangunan lapangan dan pemenuhan kebutuhan bahan pokok.
"Sebelumnya, kami dimintai tandatangan dari pihak perusahaan melalui ketua RT setempat, setiap tandatangan tersebut warga diberi imbalan Rp50 ribu," ujarnya.
Kemudian saat bulan puasa, perusahaan membagikan ratusan kupon sembako yang ditebar kepada warga setempat.
"Karena kami diberi kupon, tentu kami sangat senang, apalagi nilai kupon tersebut sangat besar untuk ukuran kami orang miskin yang tinggal di pinggiran pantai," kata Ida.
Namun, ia menambahkan, dengan seringnya pihak perusahaan memberi buah tangan itu, membuat warga setempat kesulitan dalam menyuarakan hak-haknya. Padahal nyata-nyata, warga mengalami imbasnya dari perusahaan pengelola batu bara itu, sekalipun perusahaan tersebut belum resmi beroperasi.
Sementara itu, LSM Humanika yang melakukan pendampingan terhadap warga sekitar perusahaan PT SBR untuk memperjuangkan hak-hak warga sekitar pesisir pantai.
"Kami telah mengajukan surat kepada DPRD Kota Bandarlampung agar dewan memanggil pemerintah kota dan pihak perusahaan karena diduga telah melakukan pelanggaran," kata Direktur Humanika Basuki.
Keberadaan "stockpile" berupa tempat penimbunan batu bara dan terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS) bertentangan dengan Perda No. 10 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandarlampung Tahun 2011-2030.
Mereka menolak beroperasi PT SBR karena akan berdampak pada penurunan tingkat kesehatan masyarakat, memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, serta mengancam kelestarian ekosistem laut dan mencemari lingkungan sekitarnya.
PT SBR didesak untuk segera menghentikan segala bentuk aktivitas perusahaan, karena selain menyalahi tata ruang Kota Bandarlampung, pihak perusahaan juga belum memiliki dokumen Amdal sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sementara itu pantauan kami, meskipun perusahaan tersebut belum mendapatkan izin operasi, namun pihak batu bara di belakang perusahaan tersebut telah menggunung setinggi orang dewasa.
"Kita bisa bayangkan, perusahaan pengelola batu bara ini belum beroperasi saja sudah meresahkan, bagaimana jika perusahaan ini sudah beroperasi, sehingga pemerintah harus berpikir ulang untuk menyetujuinya demi kepentingan masyarakat dan kelestarian lingkungan," kata dia
sumber