Anies Baswedan (Foto: Istimewa) |
JAKARTA - Bakal calon presiden Partai NasDem, Anies Baswedan bicara terkait dirinya yang kerap mendapatkan kritik dari berbagai pihak.
Dia lalu menyinggung terkait pemerintah saat ini yang terkadang justru mematikan kritik tersebut.
Momen Anies membahas terkait kritik ini disampaikan dalam podcast bersama Imam Priyono dan Hendri Satrio, seperti disiarkan di YouTube R66 Newlitics, dilansir detikcom, Sabtu (17/12/2022)
Anies awalnya menjelaskan terkait dirinya yang kerap mendapatkan reaksi penolakan dari pihak lain ketika melakukan sesuatu.
"Normal (orang lain menolak), apa sih yang disebut kecewa? Kecewa itu kalau tidak sesuai harapan, kalau dia sesuai harapan ya nggak usah kecewa, kita yang sudah belajar ilmu, kemudian ke sekolah, pendidikan, baca, baca sejarah, tidak ada dalam sejarah yang dalam gelanggang politik 100 persen sependapat. Kan nggak ada, coba kasih contoh 100 persen sependapat," kata Anies Baswedan, saat ditanya soal penolakan terhadap dirinya.
Anies menjelaskan, dalam berpolitik, pasti ada pihak yang tidak sependapat. Dia mengaku tidak panik ketika hal itu terjadi.
"Pasti ada yang tidak sependapat, pasti ada yang tidak sependapat sekali, itu perjalanan sejarah ratusan tahun, terus kita ketika lihat ada yang tidak sependapat terus 'waduh, waduh, panik', nggak, dari dulu begini kok. Itu adalah kebebasan untuk berpendapat, dihormati, kasih tempat, tidak usah dieliminasi, itu bagian dari normal. Dan adanya perbedaan itu membuat kita harus berikan penjelasan lebih, argumen lebih, memberi manfaat ke siapa? Ke publik," ucapnya.
Anies lalu menceritakan pengalamannya ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta. Dia mengaku sering mendapatkan kritik, yang akhirnya kritik tersebut harus dijawab satu per satu.
"Bayangkan coba nih, kami mengelola di Jakarta nih, dikritik, kan kalau dikritik harus jawab ya kan? Berarti tim kita harus beri penjelasan, penjelasan A, penjelasan B, terus yang diuntungkan dari penjelasan itu siapa? Pengkritik? Bukan, publik. Sekarang publik nih, misal ada sebuah kebijakan kemudian dikritik, kemudian dikritik, setelah dikritik dijelasin kenapa kebijakan ini diambil, manfaatnya apa, tujuannya apa, terus dijelasin, terus dijawab lagi, dijawab lagi, jawab lagi, itu publik mendapatkan publik education for free," jelasnya.
Anies lalu menyinggung pemerintah saat ini yang cenderung mematikan kritik tersebut.
Dia mengaku heran lantaran kritik itu sesungguhnya edukasi publik, selama bukan hoax dan ujaran kebencian.
"Nah, kita kadang-kadang kalau di pemerintahan matiin tuh kritiknya tuh, tolong dong ditelepon jangan kritik lagi nih. Sebentar, itu sesungguhnya public education, ada selamanya, selama faktual, selama tidak menyebarkan kebohongan dan kebencian, gitu kira-kira, itu normal. Jadi misal ada sebagian yang merasa tidak setuju, nggak apa, toh ada yang setuju juga," jelas Anies.
Anies mengajak semua pihak berlogika terkait maksud diselenggarakannya pemilu. Dia menyebut pemilu itu ada karena semua orang punya pilihan yang berbeda.
"Gini ya, logika sederhana, kenapa ada pemilu? Karena kita dengan asumsi ada yang beda pilihan, itu asumsi paling dasar, kalau asumsi semua orang pilihannya sama nggak usah pakai pemilu, karena asumsinya ada perbedaan pilihan karena itu boleh diselenggarakan pemilu, kemudian kita, ketika ada orang dalam perjalanan menuju itu ada orang beda pilihan, terus kita masa 'pak kenapa itu beda pilihan?' ya nggak apa, itu sebabnya kenapa kita ada pemilu," tuturnya. (*)