Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo (Foto: Istimewa) |
JAKARTA - Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, menyayangkan pernyataan Bupati Kepulauan Meranti, Riao Muhammad Adil soal dana bagi hasil (DBH) untuk daerah penghasil minyak dan gas (migas).
Muhammad Adil sebelumnya menilai tidak ada penjelasan rinci soal pemberian DBH dari Kemenkeu dan nilainya tergolong kecil.
Bupati itu bahkan menyebut Kemenkeu diisi oleh setan dan iblis. Prastowo menganggap pernyataan Bupati Kepulauan Meranti tak pantas.
"Di saat segenap pegawai @KemenkeuRI bekerja menjalankan amanat UU, pernyataan Bupati Kab Kepulauan Meranti ini tentu amat tidak pantas. Apalagi kapasitasnya sebagai seorang pimpinan daerah, yg seharusnya menjadi pengayom dan teladan," kata Prastowo melalui akun Twitter-nya, pada Ahad, 11 Desember 2022.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, Muhammad Adil mengatakan Kementerian Keuangan diisi oleh iblis.
Sebab, mereka hanya mengambil minyak di Kabupaten Meranti, tapi uangnya dihisap oleh Kemenkeu. Menurut Adil, wilayah yang dia pimpin adalah daerah miskin.
Adil pun menyinggung dampak dari pandemi Covid-19 terhadap wilayahnya. Salah satunya adalah jumlah pengungguran yang membengkak mencapai 41 ribu.
Dia pun minta pemerintah serius memikirkan daerahnya dan mengancam akan menggugat Kementerian Keuangan.
“Kalau enggak mau ngurus kami, Meranti, kasih kami ke negeri sebelah. Atau bila apa perlu Meranti ngangkat senjata. Kalau tidak bisa nanti kita ketemu di Mahkamah begitu kita gugat,” kata Adil, dilansir Tempo.
Prastowo meminta Adil semestinya memperbaiki kinerjanya untuk memajukan daerah yang miskin alih-alih menyampaikan pandangan yang tak berdasar dan tak sesuai mekanisme kelembagaan.
Prastowo lalu menyoroti pengelolaan anggaran daerah yang masih rendah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat daerahnya yang semestinya bisa ditingkatkan.
“Kasihan publik dikecoh dengan sikap seolah heroik untuk rakyat. Faktanya ini manipulatif. Justru pusat terus bekerja dalam bingkai konstitusi dan NKRI. Mestinya kita tingkatkan koordinasi dan sinergi, bukan obral caci-maki. Kami meradang lantaran etika publik menghilang,” kata Prastowo.
Penjelasan Kemenkeu soal DBH
Setelah menyampaikan pandangan tentang pernyataan Adil, Prastowo kemudian menjelaskan mekanisme DBH.
Ia menuturkan dalam desentralisasi fiskal, pemerintah pusat setiap tahun menggunakan sebagian pendapatan negara--termasuk dari sektor minyak bumi dan gas--untuk anggaran transfer ke daerah (TKD).
“Ini adalah upaya untuk mendukung pemerintah daerah memberikan pelayanan publik di daerah masing-masing,” kata Prastowo.
Meskipun penerimaan negara dari sektor migas fluktuatif setiap tahun, Prastowo melanjutkan, pemerintah pusat tetap memastikan anggaran TKD selalu terjaga agar pemda dapat melaksanakan tugas dalam pelayanan publik.
“Berikut realisasi besaran transfer ke daerah dan penerimaan negara dari sektor migas,” kata dia.
Untuk memitigasi ketidakseimbangan vertikal, termasuk daerah penghasil migas, pemerintah pusat mengalokasikan TKD melalui DBH dari migas secara transparan dan adil sesuai dengan undang-undang.
Di samping itu, pemerintah pusat menyalurkannya melalui program atau kegiatan oleh kementerian dan lembaga lewat APBN.
Selain DBH, daerah penghasil migas menerima dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana insentif daerah (DID) serta dana desa dengan alokasi TKD rata-rata mencapai 20 persen dari TKD nasional.
Dia menilai angka itu cukup tinggi untuk pembangunan daerah. Di sisi lain, menurut dia, daerah penghasil migas masih memperoleh pendanaan dari PAD.
Tersebab Lifting Migas yang Turun
Prastowo mengimbuhkan, untuk TKD daerah penghasil migas 2023, pemerintah pusat mengalokasikan DBH untuk daerah pengolah dan daerah yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil.
Tujuannya agar daerah yang terdampak eksplorasi migas bisa mengatasi masalah lingkungannya serta memiliki kapasitas membangun daerah lebih baik.
Dia pun menyampaikan perhitungan TKD 2023, khususnya DBH migas, untuk wilayah itu sudah dilaksanakan.
Penyalurannya pun disebut-sebut sudah sesuai ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
“Sangat clear dan legitim,” ucap dia.
Total alokasi DBH Kabupaten Kepulauan Meranti, Prastowo mengimbuhkan, Rp 207,67 miliar atau naik 4,84 persen dari 2022 dengan DBH migas Rp 115,08 miliar (turun 3,53 persen).
Penurunan ini terjadi karena data lifting minyak 2022 dari Kementerian ESDM menunjukkan penurunan dari 2.489,71 ribu barel menjadi 1.970,17 ribu barel atau setara dengan minyak.
“Jadi basisnya resmi,” tutur dia.
Menurut Prastowo, penurunan lifting itu berpengaruh terhadap alokasi DBH migas untuk Kabupaten Kepulauan Meranti pada 2023.
Dengan adanya penurunan lifting ini, pemerintah setempat perlu memikirkan terobosan agar lifting minyak dan gas bisa ditingkatkan.
Meski alokasi DBH migas turun, dia melanjutkan, alokasi DAU Kabupaten Kepulauan Meranti justru naik 3,67 persen menjadi Rp 422,56 miliar.
Sayangnya, indikator kinerja pengelolaan anggaran DTU (DAU dan DBH) di Kabupaten Kepulauan Meranti masih lebih rendah dibandingkan daerah lain di Indonesia.
“Nah makin terang,” ujar Prastowo.
Dalam rangka membantu masyarakat miskin dari dampak inflasi, menurut dia, pemda wajib mengalokasikan 2 persen dari DTU (DBH dan DAU) untuk perlindungan sosial.
Namun, per 9 Desember 2022, Kabupaten Keulauanp Meranti baru merealisasikan belanja wajib 9,76 persen. Angka itu jauh dari rata-rata secara nasional yang mencapai 33,73 persen.
Selain alokasi dari TKD, Kabupaten Kepulauan Meranti menerima manfaat dari belanja pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga di wilayahnya.
Total belanjanya Rp 137,99 miliar (tahun 2019), Rp 154,59 miliar (2020), Rp 118,03 miliar (2021), dan Rp 120,41 miliar (2022).
“Dari pengelolaan APBD, sejak 2016 rata-rata serapan belanja hanya 82,11 persen. Untuk 2022 baru terealisasi 62,49 persen saja per 9 Desember 2022,” tutur dia.
“Rendahnya penyerapan menunjukkan bahwa Kabapaten Kepulauan Meranti belum optimal mengelola anggaran terutama dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan yang tinggi, 25,68 persen.” (*)