Koalisi Masyarakat Sipil Lampung menggelar aksi penolakan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Bandar Lampung, Senin (5/12/2022). (Foto: Kompas.id) |
BANDAR LAMPUNG - Koalisi Masyarakat Sipil Lampung menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena berpotensi mengancam demokrasi, kebebasan pers, dan kebebasan masyarakat sipil.
Berbagai pasal bermasalah dalam RKUHP dinilai berbahaya melemahkan kontrol pers terhadap pemerintah.
Aksi penolakan RKUHP digelar di Tugu Adipura yang berada di pusat Kota Bandar Lampung, Senin (5/12/2022).
Aksi tersebut diikuti sedikitnya 11 lembaga pers, organisasi masyarakat, dan organisasi pers mahasiswa.
Selain membentangkan spanduk dan membawa poster berisi penolakan RKUHP, massa aksi juga melakukan aksi menutup mulut sebagai bentuk kritik terhadap DPR dan pemerintah yang tidak mendengarkan aspirasi penolakan dari berbagai lembaga terhadap RKUHP tersebut.
Koordinator aksi Derri Nugraha menuturkan, setidaknya ada 17 pasal bermasalah dan perlu dikaji ulang sebelum pemerintah dan DPR mengesahkan RUU tersebut.
Berbagai ketentuan yang dipermasalahkan, antara lain, terkait pencemaran nama baik, kelengkapan berita, serta penghinaan terhadap kepala negara dan perangkat pemerintah.
”Pasal-pasal tersebut berpotensi melemahkan kontrol pers dan suara kritis dari masyarakat terhadap pemerintah,” kata Derri yang juga Koordinator Bidang Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung, dilansir Kompas.id.
Ia menilai, penyusunan RKUHP kurang transparan. Pemerintah dan DPR terkesan abai dan kurang mendengar masukan dari publik terhadap draf RKUHP.
Padahal, gelombang penolakan atas RKUHP terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Tidak berpihak
Selain penolakan pengesahan RKUHP, Koalisi Masyarakat Sipil Lampung juga menyuarakan pencabutan sejumlah undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat, antara lain UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU KPK.
Dalam UU Cipta Kerja, misalnya, hak buruh untuk mendapatkan upah layak terampas karena penentuan upah didasarkan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, bukan pada standar komponen hidup layak.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Lampung Chandra Bangkit menilai, pengesahan RKUHP akan semakin memberi ruang pada pihak-pihak yang ingin mengintimidasi jurnalis.
Sejumlah pasal dalam RKUHP juga menjerat kebebasan pers. Padahal, dalam negara demokrasi, kebebasan pers yang bertanggung jawa harus dijunjung tinggi.
Pers menjadi panduan demokrasi dalam negara hukum.
Berdasarkan catatan LBH Pers Lampung, sepanjang tahun 2022 terjadi 7 kasus intimidasi jurnalis oleh berbagai pihak, khususnya lembaga pemerintah.
Pihak yang tidak diterima atas pemberitaan melaporkan jurnalis ke polisi dengan dasar UU ITE.
Bangkit menambahkan, sesuai kesepakatan antara Dewan Pers dan Polri, persoalan terkait jurnalistik bisa diselesaikan dengan UU Pers.
Pihak yang keberatan dengan pemberitaan dapat memberikan hak jawab, bukan memidanakan pekerja media.
Sementara itu, Ketua AJI Bandar Lampung Dian Wahyu Kusuma berpendapat, pengesahan RKUHP dapat memperburuk iklim kebebasan pers di Indonesia.
Selain itu, pengesahan RKUHP juga menunjukkan pemerintah tidak hadir melindungi pers. (*)