TUTUP
Kesehatan

BPOM Disomasi, Dinilai Bohongi Publik soal 133 Obat Sirup Aman

Admin
27 October 2022, 8:24 PM WAT
Last Updated 2022-12-04T02:11:07Z
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito  (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Komunitas Konsumen Indonesia mensomasi Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).


Somasi itu karena diduga BPOM melakukan kebohongan publik terkait pengumuman 133 nama obat sirup yang dinyatakan aman propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, hingga gliserin atau gliserol.


Ketua Komunitas Konsumen Indonesia, David Tobing mengatakan pengumuman terhadap 133 nama obat yang dianggap aman oleh BPOM diduga tidak berdasarkan hasil pengujian.


Namun hanya didasarkan registrasi obat yang telah dilakukan sebelumnya.


"Ini berpotensi terjadinya kebohongan publik karena seharusnya jika dikatakan tidak menggunakan zat tersebut harus didasarkan pengujian secara menyeluruh yang dilakukan BPOM sendiri, bukan berdasarkan registrasi awal," kata David dalam keterangan tertulis, Kamis (27/10/2022).


Menurut David, BPOM RI sebagai lembaga otoritas pengawas obat dan makanan juga telah lalai melakukan pengawasan pada pre-market dan post-market control.


BPOM disebut telah kecolongan dengan temuan beberapa obat sirop yang beredar dengan kandungan EG dan DEG, yang disebut sebagai pemicu gagal ginjal akut.


Padahal obat-obatan tersebut telah terregistasi dan dilakukan uji laboratorium oleh BPOM.


"Padahal sudah sangat jelas diatur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan dan menyelenggarakan fungsi pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar," papar David, dilansir CNNIndonesia.


"Jadi terbukti pada saat registrasi obat, BPOM tidak melakukan pengujian terhadap kandungan apa saja yang ada pada obat dan percaya begitu saja dengan keterangan yang diberikan produsen obat," tambahnya.


David menduga BPOM tidak melakukan post-market control secara aktif dengan melakukan pengujian obat secara berkala, bahkan sejak registrasi pengujian obat diberikan kepada perusahaan farmasi.


Padahal, lanjut David, BPOM RI memiliki kewenangan pengawasan obat dan makanan, sehingga tindakan BPOM RI untuk melimpahkan post-market control kepada perusahaan farmasi adalah keliru dan tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).


"Yaitu Asas Kepastian Hukum dan Asas Profesionalitas karena pengujian produk sirup obat sebagai sediaan farmasi merupakan kompetensi atau kewenangan mutlak dari BPOM RI," jelas David.


Dia meminta secara tegas BPOM melakukan pengujian seluruh produk yang telah dikeluarkan izin edar secara mandiri, termasuk mengumumkan kembali hasil-hasil uji produk sirup obat yang dilakukan BPOM, bukan hasil pengujian oleh produsen obat.


"Menuntut BPOM RI meminta maaf kepada konsumen di Indonesia," tutup David.


Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengakui pihaknya selama ini tidak melakukan pemeriksaan rutin terhadap adanya cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat sirop.


Penny menyebut hal itu terjadi lantaran menurutnya hingga saat ini belum ada pakem internasional yang mengharuskan dan mengatur soal pemeriksaan kedua senyawa itu dalam komponen pembuatan obat.


"Itulah kenapa kita tidak pernah menguji karena memang belum dilakukan di dunia internasional pun. Inilah standar yang harus kita kembangkan sekarang, sehingga menjadi bagian dari sampling rutin dari BPOM," kata Penny di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (24/10).


Kendati demikian, Penny memastikan BPOM memiliki kegiatan untuk melakukan pemeriksaan sampling secara rutin.


Selain itu, ia mengklaim BPOM memiliki perencanaan pre market yang dilakukan sebelum memberikan restu izin edar obat yang didaftarkan oleh produsen farmasi. (*)

close