TUTUP
TUTUP
Ekonomi

Wakil Ketua MPR Ragu Data Bansos Pemerintah Akurat, Desak Kenaikan Harga BBM Dibatalkan

Admin
04 September 2022, 10:10 PM WAT
Last Updated 2022-09-04T15:10:08Z
Hidayat Nur Wahid (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mendesak pemerintah membatalkan kenaikan harga BBM bersubsidi.


Ia pun menyoroti data penerima bansos alih subsidi BBM yang berpotensi tidak akurat.


"Presiden Jokowi sendiri yang pernah menjamin tidak ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun, mengakui bahwa bansos alih-subsidi BBM tidak akan sepenuhnya tepat sasaran," ujar Hidayat dalam keterangannya, Ahad (4/9/2022). 


Jika demikian dan di era di mana harga minyak dunia sedang turun, Pemerintah Malaysia juga turunkan harga BBM, maka sebaiknya janji jaminan tidak menaikkan harga BBM itu yang dipenuhi.


Sekaligus dengan serius memperbaiki data yang berhak menerima Bansos reguler karena selalu jadi temuan dari BPK.


"Tidak justru begitu saja meloncat dengan keputusan baru subsidi BBM dialihkan menjadi bansos," kata HNW, sapaan akrabnya, dilansir detikcom.


Itu karena dampak dari kenaikan BBM akan memunculkan masalah-masalah sosial dan inflasi, serta lonjakan angka kemiskinan yang lebih besar dari dampak singkat pertahanan daya beli dengan pemberian bansos pengalihan subsidi BBM tersebut.


Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi isu-isu sosial itu menjelaskan, selain sudah disampaikan Presiden, ketidaktepatan sasaran penerima bansos juga tercermin dari penjelasan Menteri Sosial Tri Rismaharini.


Dalam konferensi persnya, Sabtu (3/9), Mensos menyampaikan adanya data 18.486.756 keluarga penerima manfaat (KPM) yang sudah siap salur. Sementara sisanya, yakni 313.244 masih dalam proses cleaning atau pembersihan data.


Hidayat mengkritisi kedua data tersebut jika ditotal baru berjumlah 18,8 juta KPM, lebih rendah dari total penerima yang berhak dan sudah diumumkan Presiden Jokowi yaitu 20,65 juta KPM.


"Jadi, ada 1.85 juta lebih data yang tak jelas statusnya dan ketepatan sasarannya, dan potensial kembali jadi temuan BPK." ujarnya.


Ia pun menilai pemberian bansos tidak efektif menjadi solusi atas dinaikkannya harga BBM bersubsidi.


"Lantas, data dan alokasi 1,85-an juta KPM sisanya Bu Mensos mengambil dari mana? Apalagi hal keganjilan seperti ini juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui oleh Komisi VIII DPR RI," kata Hidayat.


"Ini berbahaya dan bisa jadi temuan KPK, jika tiba-tiba masuk data siluman atau data yang diada-adakan, hanya demi pencitraan pemerintah yang seolah-olah peduli pada masyarakat yang sedang kesulitan atas kenaikan harga BBM, tapi hakikatnya malah menyusahkan rakyat. Kami tidak ingin terulangnya kasus Mensos yang ditangkap KPK karena terjadinya korupsi Bansos," tambahnya.


Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu mengingatkan selain 1,85 an juta data KPM yang tidak jelas sumbernya, 18,8 juta data yang dinyatakan sudah siap salur dan sedang dibersihkan tersebut bersumber dari data penerima program reguler, yakni BPNT dan PKH yang beberapa kali bermasalah.


Pada Juni 2022, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan kesalahan penyaluran pada program-program tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 6,9 Triliun.


"Klaim Mensos bahwa 18,8 juta sudah siap salur juga patut dibuktikan ketepatannya. Pasalnya data-data seperti ini selama ini selalu ditemukan penyimpangan, mulai dari masih dicantumkannya warga yang sudah meninggal tapi masih masuk data, tidak tercantum datanya di DTKS, NIK invalid, KPM sudah non-aktif tapi masih diberikan, dan banyaknya penerima ganda," papar Hidayat.


Dia mengulas seperti disampaikan Presiden, bantuan langsung tunai alih subsidi BBM untuk periode 4 bulan sebesar Rp 150 ribu per bulan yang diberikan kepada 20,65 juta KPM memakan anggaran Rp 12,4 triliun.


"Bansos tersebut merupakan bagian dari skema anggaran alih subsidi BBM sebesar Rp 24,17 Triliun," kata Hidayat.


Dia menjabarkan, nilai bansos tersebut jauh lebih kecil ketimbang kebutuhan tambahan anggaran subsidi untuk menahan harga BBM tidak naik adalah Rp 198 Triliun, jauh lebih besar dari angka bansos.


Namun menurutnya, efek negatif kenaikan harga BBM pasti lebih besar dari efek pertahanan daya beli sesaat akibat pemberian bansos.


"Dari jomplangnya angka subsidi dan bansos tersebut bisa dilihat bahwa bansos hanya berperan sebagai pelipur lara sesaat saja. Kalau pemerintah memang serius membantu masyarakat dan mengalihkan subsidi BBM menjadi bansos, maka nilai bansosnya harus setara dengan nilai kebutuhan tambahan subsidi yakni Rp 198 triliun," kata Hidayat.


"Pendataan bansos harus disiapkan dengan matang dan akurat agar tepat sasaran, pemberiannya hendaknya tidak hanya beberapa bulan, tapi sepanjang waktu terdampak akibat dinaikkannya harga BBM, dan penerimanya tidak hanya 20,65 juta, tapi sebanyak warga yang terdampak negatif akibat dinaikkannya harga BBM itu," tambahnya.


Hidayat tetap mendesak agar Pemerintah yang diperintahkan oleh Konstitusi dan Pembukaan UUD 45 untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan segera mengoreksi dan tidak jadi menaikkan harga BBM, sekalipun terlanjur diumumkan.


"Seharusnya pemerintah terlebih dahulu membahasnya dengan DPR yang mayoritasnya menolak kenaikan harga BBM. Mendengarkan jeritan rakyat yang makin disusahkan bila harga BBM tetap dinaikkan. Mencerna masukan dari para pakar, bagaimana menghindarkan pembebanan terhadap APBN dengan tidak menambah kesusahan rakyat," ujar Hidayat.


Misalnya dengan menunda proyek-proyek yang tidak prioritas dan tidak menjadi hajat rakyat banyak. Seperti proyek IKN, KCJB, dan infrastruktur, serta memprioritaskan pembangunan kilang agar Indonesia tidak lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali dari Singapura.


"Dengan demikian akan ada ketersediaan minyak siap pakai di Indonesia, agar selamatlah APBN kita, selamat juga rakyat Indonesia akibat dari ketidakbijakan menaikkan harga BBM bersubsidi," kata Hidayat. (*)

close