TUTUP
EkonomiEnergiOtomotif

Ini Penjelasan Dosen ITB soal Pertalite Lebih Boros Pasca Harganya Naik

Admin
22 September 2022, 3:34 PM WAT
Last Updated 2022-09-23T10:06:32Z
Foto: Ilustrasi/Istimewa

BANDUNG - Beredar di media sosial pengakuan beberapa pengguna kendaraan bermotor  yang mengisi bahan bahan minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite produksi Pertamina.


Setelah naik harga, Pertalite yang biasa digunakan itu terasa lebih boros daripada sebelumnya.


Menanggapi itu, dosen dari Kelompok Keahlian Konversi Energi Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri, menjelaskan apabila pengguna BBM Pertamax beralih ke Pertalite, konsumsinya memang akan menjadi boros.


Alasannya, bilangan oktan atau Research Octane Number (RON) Pertalite lebih rendah ketimbang Pertamax.


"Dengan RON Pertalite 90 dan Pertamax 92 dan 98, wajar kalau daya lebih rendah maka otomatis bahan bakar akan lebih boros,” ujar Tri, dilansir dari Tempo pada Kamis (22/9/2022).


Beda kasus jika pengguna sebelumnya juga memakai Pertalite. Dari biasanya cukup untuk seminggu, misalnya, kini mungkin sekitar 3-4 hari.


“Mungkin secara komposisi kimia senyawanya di dalam BBM berubah sehingga nilai kalor bensin berubah,” kata Tri.


Menurutnya, nilai kalor yang menandakan kandungan energi pada bahan bakar ditentukan oleh senyawa kimia seperti karbon dan hidrogen.


Karena perbedaan senyawa itu misalnya, minyak solar per kilogram lebih tinggi kandungan energinya daripada bensin.


Perubahan senyawa juga bisa mengakibatkan perubahan massa jenis atau density bensin. Jika ukuran bensin sama-sama satu liter, namun massa jenis berkurang dari 820 menjadi 770 gram, pemakaian bensin pasti akan jadi boros.


“Jadi begitu density berubah maka nilai kalor per liternya berubah,” kata Tri merujuk nilai kalor dalam satuan kilo joule atau kilo kalori per kilogram.


Karena itu, menurutnya, ada yang bilang kalau mengisi BBM jangan siang hari ketika panas terik, atau ketika BBM baru diisi di SPBU.


Itu terkait densitas yang berubah. Masalahnya, dalam spesifikasi minyak dan gas sebagai syarat boleh tidaknya bahan bakar dijual di Indonesia, tidak diperhitungkan soal nilai kalor.


“Karena itu tidak ada ketentuan nilai kalor dalam spesifikasi,” ujar dia.


Kondisi itu menurut Tri berlaku umum pada transaksi bahan bakar transportasi komersial.


Berbeda misalnya pada batubara yang harganya justru ditentukan oleh nilai kalor. Atau pada industri, ada yang menerapkan standar internasional BBM pada suhu 15 derajat Celsius.


“Di bahan bakar kita tidak mengenal itu, kenalnya cuma rupiah per liter,” katanya.


Beberapa hari lalu Pertamina menanggapi isu tersebut, bahwa tidak ada perubahan dalam spesifikasi produksi Pertalite. Soal jawaban itu, Tri merespons.


Ya memang, tapi ada kemungkinan nilai kalornya yang berubah. Perubahan itu disebutnya bukan disengaja. Nggak, itu tergantung dari minyak buminya,” katanya lagi.


Dari sumur minyak bumi yang sama, Tri menuturkan, hasilnya bisa berbeda ketika diolah menjadi bahan bakar.


Kilang hanya memproses namun sifat-sifat senyawa merupakan bawaan dari minyak bumi.


Karena itu pula nilai densitas di berbagai SPBU bisa berbeda sehingga tidak setiap pengguna merasa boros bahan bakar. (*)

close