TUTUP
TUTUP
Hukum

Satgas BLBI Sita Aset Tanah dan Bangunan Milik Sjamsul Nursalim di Lampung

Admin
10 August 2022, 3:10 PM WAT
Last Updated 2022-08-29T00:12:43Z
Sjamsul Nursalim (tengah/berkacamata) .Foto: Istimewa

BANDAR LAMPUNG - Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) menyita aset milik Sjamsul Nursalim, Rabu (10/8/2022).


Sjamsul merupakan obligor BLBI pemegang saham eks PT Bank Dewa Rutji.


Aset yang disita adalah properti berupa tanah/bangunan seluas 41.605 meter persegi sesuai Sertifikat Hak Guna atas Bangunan (SHGB) 56/Pj.U. Desa Panjang Utara, yang terletak di Desa/Kel Panjang Utara, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung.


Ketua Satgas BLBI, Rionald, Silaban mengatakan aset tersebut diambil alih dan telah diperhitungkan sebagai pengurangan utang Sjamsul kepada negara oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).


Aset ini juga telah menjadi kekayaan negara yang tercatat di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat/Laporan Keuangan Transaksi Khusus sejak 2009.


"Penguasaan fisik aset properti eks BLBI melalui pemasangan plang tersebut dilakukan Satgas BLBI, bersama Kanwil DJKN/KPKNL dan dengan pengamanan dari Satgas Gakkum BLBI Bareskrim Polri, Polresta Bandar Lampung, Polsek Panjang dan dihadiri Camat Panjang atau aparat setempat," ungkap Rionald, dalam keterangan tertulis.


Satgas BLBI menyita aset milik Sjamsul Nursalim, Rabu (10/8/2022) Foto: Dok. Satgas BLBI

Dijelaskan, penagihan dan penanganan aset obligor BLBI merupakan bagian dari tugas Satgas BLBI yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 jo. Keputusan Presiden RI Nomor 16 Tahun 2021.


Salah satu upaya penanganan aset properti yang dilakukan adalah penguasaan fisik aset tanah dan bangunan melalui pemasangan plang pengamanan, yang bertujuan untuk penyelesaian dan pemulihan hak negara dari dana BLBI oleh Satgas BLBI.


Menurut Rionald, atas aset-aset yang telah dilakukan penguasaan fisik akan dilakukan optimalisasi pengelolaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


"Untuk tahap berikutnya, Satgas BLBI telah merencanakan tindakan penguasaan fisik atas aset properti yang tersebar di beberapa kota/kabupaten di Indonesia," jelas Rionald, dilansir Kompas.com.


Sebelumnya, Satgas BLBI juga telah menerima pembayaran dari Sjamsul Nursalim pada 14 Juni 2022 sebesar Rp 367,72 miliar untuk penyelesaian utangnya ke pemerintah atas BLBI yang dikucurkan ke eks PT Bank Dewa Rutji.


Pembayaran itu merupakan yang kedua, setelah sebelumnya Sjamsul Nursalim membayar sebesar Rp 150 miliar pada 18 November 2021 kepada Satgas BLBI.


Pembayaran tersebut dilakukan setelah dilakukan upaya penagihan oleh Satgas BLBI sejak 2021. 


Sjamsul Nursalim menjadi salah satu dari 7 obligor prioritas Satgas BLBI yang tercantum dalam Dokumen Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI tertanggal 15 April 2021.


Pada dokumen itu Sjamsul merupakan obligor BLBI eks Bank Dewa Rutji dengan dasar utang Laporan Keuangan Bank dan LHP BPK sebesar Rp 470,65 miliar.


Tidak ada jaminan yang dikuasai dari utang tersebut, tapi Sjamsul diperkirakan mempunyai kemampuan membayar.


Kemudian pada tahun yang sama, Sjamsul Nursalim datang menghadiri "undangan" dari pemerintah untuk membahas utang tersebut pada 22 September 2021.


Namun, kehadirannya diwakili oleh kuasa hukumnya.


Kronologi Korupsi BLBI Sjamsul Nursalim hingga Kabur ke Singapura


Diketahui, Obligor BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Sjamsul Nursalim melunasi utangnya ke pemerintah untuk kredit yang dikucurkan ke eks PT Bank Dewa Rutji.


"Satgas BLBI telah menerima pembayaran untuk penyelesaian kewajiban pemegang saham BLBI atas obligor pemegang saham eks PT Bank Dewa Rutji, Sjamsul Nursalim, sebesar Rp 367.723.869.934,70," kata Ketua Satgas BLBI, Rionald Silaban dalam keterangannya dikutip pada Minggu (19/6/2022).


Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) ini menyebut, pihaknya juga telah menerima pembayaran dari Sjamsul Nursalim pada tanggal 18 November 2021.


Pembayaran kedua pada 14 Juni 2022 tersebut tidak lantas membuat utang Sjamsul Nursalim kepada pemerintah lunas.


Ini karena pria yang menetap di Singapura itu masih memiliki utang BLBI lain, yakni terkait kredit ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).


"Obligor BLBI ini sebelumnya, pada tanggal 18 November 2021 telah melakukan pembayaran Rp 150.000.000.000,00 termasuk biaya administrasi 10 persen," beber Rio.


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 pernah menetapkan Sjamsul dan istrinya sebagai tersangka dan buron atas dugaan kasus korupsi dalam kewajiban utang BDNI dalam BLBI sebesar Rp 4,8 triliun. Namun, status ini dicabut pada 2021.


BDNI merupakan salah satu dari 48 bank yang mendapat dana bantuan dari Bank Indonesia saat krisis moneter 1997/1998.


Kronologi kasus


1998


Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, saat krisis ekonomi 1998, banyak bank-bank di Indonesia mengalami kesulitan likuiditas.


Pemerintah lewat Bank Indonesia (BI) kemudian mengucurkan uang negara sebagai pinjaman ke bank-bank tersebut, kredit ini kemudian disebut dengan BLBI.


BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.


Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim merupakan salah satu bank yang mendapatkan kucuran uang rakyat tersebut, yakni senilai Rp 47 triliun.


Kucuran dana dilakukan lewat Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA), di mana BPPN mengambil alih saham dan pengelolaan BDNI.


Dalam MSAA tersebut, jumlah utang BDNI kepada pemerintah adalah sebesar Rp 47,2 triliun, dikurangi aset BDNI sebesar Rp 18,85 triliun, termasuk di dalamnya pinjaman (piutang) BDNI kepada petambak udang Dipasena Lampung sebesar Rp 4,8 triliun.


Aset BDNI dalam bentuk piutang ke petambak udang Dipasena tersebut, diklaim Sjamsul Nursalim sebagai aset lancar yang seolah tidak bermasalah.


Dalam investigasi BPPN, ditemukan bahwa aset piutang petambak Dipasena tersebut merupakan kredit macet, sehingga Sjamsul Nursalim dianggap melakukan misrepresentasi.


BPPN kemudian melayangkan surat yang menyatakan Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi dan memintanya untuk menggantinya dengan aset lain untuk membayar utang BLBI, namun Sjamsul Nursalim menolak.


Selain itu, dalam penggunaannya dana BLBI, BDNI melakukan penyimpangan sehingga BPPN mengkategorikannya sebagai bank yang melanggar hukum atau bertransaksi tidak wajar yang menguntungkan pemegang saham.


2003


BPPN kemudian menggelar rapat dengan pihak Sjamsul Nursalim yang diwakili istrinya, Itjih Nursalim, guna menyelesaikan masalah piutang petambak Dipasena.


Namun Itjih Nursalim berkukuh bahwa aset tersebut tak bermasalah dan pihaknya tidak melakukan misrepresentasi.


2004


Masalah BDNI ini yang kemudian jadi polemik dan kemudian jadi penyelidikan kasus korupsi di kemudian hari, adalah pemerintah saat itu yang mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.


Megawati Soekarnoputri sewaktu menjabat presiden, menyetujui pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur penerima BLBI.


SKL tersebut ditandatangani Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung lewat surat nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI, yang membuat hak tagih atas petambak udang Dipasena menjadi hilang.


Belakangan karena penerbitan SKL tersebut, Syafruddin kemudian divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.


Putusan itu memperberat hukuman 13 tahun penjara di tingkat Pengadilan Tipikor.


2004


BPPN kemudian menyerahkan petanggungjawaban aset hak tagih Dipasena kepada Kementerian Keuangan yang kemudian diserahkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).


PPA melakukan penjualan hak tagih piutang Dipasena sebesar Rp 220 miliar, padahal kewajiban atau utang Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima negara adalah sebesar Rp 4,8 triliun.


Selisih kekurangan inilah yang kemudian dianggap sebagai kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun. 


2019


Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) Syafruddin sebagai penerbit SKL kemudian dinyatakan bebas alias tidak bersalah.


Majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.


2021


KPK sempat mengajukan Peninjauan Kembali vonis lepas Syafruddin ke MA pada 17 Desember 2019. 


Namun, MA menolak upaya hukum luar biasa tersebut pada Juli 2020.


Karena dianggap tidak ada upaya hukum lain, maka KPK memutuskan mengeluarkan penghentian penyidikan (SP3) atas kasus BLBI Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.


2022


Sjamsul Nursalim melalui kuasa hukumnya di Indonesia melakukan pelunasan utang BLBI untuk Bank Dewa Rutji.


Sementara untuk utang BLBI dari Bank BDNI yang pernah dimiliki Samsul Nursalim, hingga saat ini masih terus ditagih pemerintah. (*)

close