TUTUP
Hukum

Masyarakat Indonesia Kena Prank Polisi di Kasus Kematian Brigadir J

Admin
08 August 2022, 7:12 AM WAT
Last Updated 2022-09-06T05:31:38Z
Irjen Pol Ferdy Sambo (kiri) dan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Mulai terungkap. Narasi tembak-tembakan polisi di rumah Irjen Pol Ferdy Sambo hanya drama untuk mengelabui publik. Se-Indonesia kena prank Polisi.


Skenario pembohongan gagal total. Semua yang disampaikan Polres Jakarta Selatan, Polda Metro Jaya sampai kronologi yang diutarakan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo terkait kematian Brigadir J, jauh dari kebenaran.


"Tidak ada ralat, tidak ada permohonan maaf, semua berjalan dengan sendirinya. Lelucon. Se-Indonesia sudah kena prank polisi. Kini pelaku pembohongan publik yang notabene polisi sedang membuat pengakuan di depan polisi. Judul polisi tembak polisi bisa diganti, polisi prank polisi," ujar praktisi hukum Syamsul Arifin, dilansir Disway.id, Senin 8 Agustus 2022.


“Peristiwa utama adalah pembunuhan berencana, bisa dimulai dengan dasar menghilangkan barang bukti. Termasuk pembohongan berencana, itu yang paling tepat saya pikir. Tidak ada ralat, tidak ada permohonan maaf, jalan sendiri tanpa dosa. Ini publik se Indonesia lho yang dibohongi,” tambahnya. 


Dikatakan Syamsul Arifin, dari kasus ini, Polri sudah terjebak dengan narasinya sendiri.


Narasi yang disampaikan oleh orang-orang pilihan yang seharusnya bisa memberikan penjelasan berdasarkan fakta dan data yang presisi seperti tagline Polri.  


“Ini seperti pembohongan berencana. Setelah satu per satu terbongkar dengan sendirinya. Dari apa yang disampaikan Budi, kelakuan Hendra Kurniawan, pernyataan Ramadhan, sampai Dedi Prasetyo pun meleset, kronologi yang disampaikan itu jauh panggang dari api,” jelas Syamsul. 


Hal ini terungkap setelah Kapolri menonaktifkan sejumlah Pati, Pamen sampai tamtama. Pengusutan makin mudah setelah Ferdy Sambo meringkuk di Mako Brimob.  


Dari mulut Bharada E yang berani buka suara, maka terungkap skenario jahat yang dirangkai sedemikian rupa. Hingga akhirnya Brigadir Ricky Rizal atau Brigadir RR menjadi tersangka baru.


Sadisnya, Brigadir RR disangkakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan subsider Pasal 338 junto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP seperti yang disampaikan Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri itu.


“Otak atau sutradara dari pembuat kebohongan ini yang harus dihukum berat,” tegas Syamsul.


Saat ini, sambung advokat tersebut, publik sedang menunggu 43 saksi yang diburu pengakuannya atas kebenaranya kematian Brigadir Yosua itu.


“Ingat, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap 25 personel di lingkungan kepolisian bisa berlanjut ke pidana. Sementara 25 personel baru dugaan pelanggaran kode etik dalam perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat ini,” ujar Sayamsul.


Sementara itu, Kuasa Hukum Bharada E Deolipa Yumara telah mendapatkan keterangan dari kliennya, dan ternyata dalam pengakuan Bharada E jauh dari apa yang dikonsumsi publik selama ini.


Tidak ada kejadian adu tembak antara dirinya dan Brigadir J.


Setelah berkonsultasi dengan Deolipa, Bharada E mengakui bahwa keterangan yang selama ini ia sampaikan dalam penyidikan ternyata banyak kebohongan. 


“Skenario tembak-menembak, Bharada E karena bela paksa, ditembak oleh Brigadir J, kemudian dia membalas. Itu salah satunya, ternyata tidak begitu kejadiannya,” jelas Deolipa. 


Pengakuan bohong selama pemeriksaan, sambung Deolipa Yumara, bukan tanpa sebab. Hal tersebut terpaksa ia lakukan karena ada tekanan. 


Bharada E situasinya dalam tekanan. Oleh karena itu, kliennya tersebut tak berani mengungkapkan kebenaran.


Selain itu, Deolipa juga menjelaskan bahwa sebenarnya Bharada E memang bukan polisi yang mahir dalam menembak.


“Ya, Bharada E dibilang jago tembak, tidak begitu. Jadi banyak hal yang tidak konsisten, ya, kalau kejahatan ya begitu, tidak konsisten kalau ditutup-tutupi,” jelasnya.


Sejak awal pernyataan-pernyataan adanya drama ‘polisi tembak polisi’ menambah ruwet penanganan kasus tewasnya Brigadir Nopriansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.


Terlebih munculnya gelombang desakan dari kuasa hukum keluarga Brigadir J dan publik yang terus membicarakan kasus penuh kontroversi ini di jagat maya. 


Sampai-sampai Presiden Jokowi mengetahui kasus ini dengan jelas, sehingga membuat statemen yang singkat namun arahnya jelas.


“Ya harus diproses hukum,” tegas Jokowi.


Penegasan kepala negara ini yang secara jelas menjadi dasar Kapolri untuk tidak mau mengambil resiko lebih dalam. Tentu dengan banyaknya pertimbangan yang rasional.


Buntutnya, 2 personel korps Bhayangkara pun menjadi ‘korban’ lantaran memberikan statemen dan ulahnya yang mungkin blunder bagi Kapolri. 


Dua petinggi polri yang dinonaktifkan itu yakni Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Propam Polri Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto.


Keduanya menyusul penonaktifan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Irjen Pol Ferdy Sambo yang lebih dulu ‘nganggur’ akibat insiden di rumah dinasnya yang terus menjadi sorotan publik.


Kebohongan polisi tembak polisi Duren Tiga, itu membawa ‘petaka’ bagi Hendra Kurniawan dan Budhi Herdi Susianto.


Apalagi kasus tersebut terkuak setelah tiga hari kejadian atau Senin 11 Juli 2022.


Pada Selasa, Budhi Herdi dengan percaya diri menyampaikan hasil penyelidikan sementara dari olah tempat kejadian perkara.


1. Adanya Dugaan Pelecehan


Budhi juga membeberkan dugaan pelecehan berikut dengan kronologinya. Budhi menyebut peristiwa itu terjadi pada Jumat, sekitar pukul 17.00 WIB.


Aksi tembak menembak itu dipicu karena Brigadir J diduga melakukan pelecehan terhadap Putri Chandrawathi, istri dari Irjen Ferdy Sambo. 


Budhi menyebut Polisi bintang dua itu sedang tertidur setelah tiba di rumah singgah usai perjalanan dari luar kota.


“Karena lelah mungkin pulang dari luar kota, ibu sempat tertidur. Pada saat itu, tidak diketahui oleh orang lain, Brigadir J masuk dan kemudian melakukan pelecehan terhadap ibu,” kata Budhi kepada wartawan.


Sayangnya Budhi tidak menjelaskan secara terperinci bentuk pelecehan yang dilakukan Brigadir J terhadap istri Irjen Ferdy Sambo.


Budhi juga menyatakan bahwa Brigadir J penodongan pistol ke istri Ferdy Sambo. Tindakan asusila Brigadir J saat itu ketahuan oleh istri Ferdy Sambo yang terbangun dari tidur lalu berteriak meminta tolong. 


Teriakan istri Ferdy Sambo mengundang Bharada E yang saat itu berada di lantai dua rumah dinas. Bharada E kemudian datang menghampiri pusat suara.


“Pada saat ibu tertidur, lalu terbangun dan kaget, kemudian menegur saudara J. Saudara J membalas, diam kamu! sambil mengeluarkan senjata yang ada di pinggang,” terang Budhi.


Lalu Bharada E datang. Menanyakan apa yang terjadi. “Bukan dijawab tapi dilakukan penembakan oleh saudara J,” imbuh Budhi. 


Bharada E sebanyak 5 kali yang mengarah ke Brigadir J. Dari lima tembakan tersebut tepat sasaran ke bagian tubuh Brigadir J. 


“Sementara tembakan (Brigadir J) tidak mengenai saudara E, hanya mengenai tembok,” ucap Budhi. 


2. Beberkan jenis senjata 


Budhi juga mengungkap jenis-jenis senjata yang digunakan oleh Brigadir J dan Bharada E dalam aksi baku tembak. 


Pistol yang dipegang keduanya memiliki jenis yang berbeda. Jebolan akpol 1996 itu mengungkapkan, Brigadir J menggunakan senjata api jenis HS dengan magasin berisi 16 peluru. 


Sementara Bharada E menggunakan senjata api Glock dengan magasin berisi 17 peluru.


Penyidik dari Polres Jakarta Selatan yang melakukan olah TKP usai aksi baku tembak telah menyita senjata api yang dipegang Brigadir J dan Bharada E sebagai barang bukti.


Budhi pun menuturkan bawah di TKP ditemukan barang bukti, tersisa dalam magasin tersebut 12 peluru.


“Di sini ada 5 peluru yang dimuntahkan. Sedangkan saudara J itu kami menemukan dan mendapatkan fakta yang bersangkutan menggunakan senjata jenis HS 16 peluru di magasinnya, dan kami menemukan tersisa 9 peluru yang ada di magasin," imbuh dia. 


3. CCTV Mati


Budhi juga menyebut sejumlah kamera CCTV yang berada di rumah Irjen Ferdy Sambo dalam kondisi rusak. Kamera CCTV itu disebutkan rusak sejak 2 minggu sebelum terjadi dugaan aksi baku tembak antara Brigadir J dan Bharada E.


Kondisi kamera CCTV itu menyebabkan tidak dapat merekam detik-detik Brigadir J diduga melecehkan istri Ferdy Sambo yang berujung aksi baku tembak.


“Kebetulan CCTV rusak sejak 2 minggu lalu, sehingga tidak dapat kami dapatkan,” tambah Budhi.


Secara scientific crime investigation, sambung dia, akan berusaha untuk mengungkap dan membuat terang peristiwa ini dengan mencari alat bukti lain.


Namun belum adanya titik terang dari kasus itu, Budhi telah dinonaktifkan dari jabatannya, bersama dua personel lain. 


Jelas ini menyusul usai adanya permintaan dari keluarga Brigadir J melalui kuasa hukum. 


Kuasa hukum Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak memohon kepada Bapak Presiden RI selaku kepala negara dan kepala pemerintahan supaya memberi atensi. 


Permohonan pun dimita Kamaruddin dengan Komisi III DPR RI selaku wakil rakyat, tak terkecuali Kapolri agar sementara menonaktifkan 


“Kami juga memohon Karo Paminal atas nama Brigjen Hendra dinonaktifkan. Yang ketiga menonaktifkan Kapolres Jakarta Selatan," tambah dia.


Alasan ketiganya perlu dinonaktifkan yaitu agar penanganan perkara dugaan polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir J dapat ditangani secara obyektif.


Dinonaktifkannya Hendra Kurniawan


Brigjen Hendra Kurniawan dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri dengan tujuan agar pengusutan kasus yang menewaskan Brigadir J ini berjalan objektif.


Poin itu menjadi landasan sehingga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan terpaksa ‘menggusur’ Brigjen Hendra Kurniawan dari kursi yang ditempatinya. 


Lalu apa ‘dosa’ pria bermata sipit itu sehingga harus dinonaktifkan, apa karena dekat dengan Brigjen Ferdy Sambo yang kini terlilit kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. 


Dari serangkaian kasus kematian Brigadir J terselip nama Brigjen Hendra Kurniawan. Namanya santer setelah secara terang-terangan diumumkan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta, Rabu 20 Juli 2022.


“Kami memutuskan untuk menonaktifkan dua orang yaitu Karo Paminal Brigjen Hendra, tujuan agar pengusutan kasus yang menewaskan Brigadir J ini berjalan objektif,” jelas Dedi Prasetyo. 


Penegasan Dedi ini pun disampaikan persis beberapa jam usai jajaran Polri menggelar perkara kasus kematian Brigadir J yang terus jadi sorotan publik.


Latar belakang dinonaktifkannya Brigjen Pol Hendra: 


Keluarga Brigadir J meminta Polri menonaktifkan Hendra karena dinilai telah melakukan penekanan terhadap pihak keluarga untuk tak membuka peti jenazah Brigadir J.


Hendra diklaim memberikan perintah yang memunculkan kesan mengintimidasi keluarga Brigadir J yang tengah diliputi duka mendalam.


Selain mengintimidasi, Hendra memojokkan keluarga sampai memerintah untuk tidak boleh memfoto, tidak boleh merekam, tidak boleh pegang HP, masuk ke rumah tanpa izin langsung menutup pintu.


Sikap Karo Paminal itu dinilai tidak mencerminkan perilaku Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. 


Lalu siapa sebenarnya sosok Karo Paminal Brigjen Hendra Kurniawan? Berikut ini profilnya: 


Profil Hendra Kurniawan


Brigadir Jenderal (Brigjen) Pol Hendra Kurniawan menjabat sebagai Karo Paminal Divisi Propam Polri sejak 16 November 2020.


Hendra menggantikan Brigjen Pol Nanang Avianto yang dipromosikan sebagai Kepala Korps Samapta Bhayangkara (Kakorsabhara) Baharkam Polri.


Hendra Kurniawan lahir di Bandung, 16 Maret 1974. Dia merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1995. Sebelum menjadi anak buah Irjen Ferdy Sambo sebagai Karo Paminal Divisi Propam Polri.


Hendra pernah menempati sejumlah jabatan di antaranya Kaden A Ro Paminal Divisi Propam Polri, lalu Analis Kebijakan Madya Bidang Paminal Divisi Propam Polri, hingga Kabag Binpam Ro Paminal Divisi Propam Polri.


Tahun 2021 Hendra terlibat dalam tim khusus pencari fakta untuk kasus bentrok Front Pembela Islam (FPI) dengan Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang terjadi 7 Desember 2020. Hendra ditunjuk langsung oleh Irjen Ferdy Sambo untuk memimpin tim yang beranggotakan 30 personel kepolisian ini.


Pernyataan Brigjen Pol Ahmad Ramadhan


Karopenmas Divhumas Mabes Polri Brigjen Ahmad Ramadhan pada Senin 11 Juli 2022 menyebut pada saat kejadian Kadiv Propam tidak ada di rumah karena sedang PCR test.


Ketika ditanya dimana lokasi tes PCR? Ramadhan tidak mau menyebutkannya dengan alasan hal tersebut masuk dalam materi penyelidikan yang belum bisa disampaikan ke publik.


Ramadhan mengatakan bahwa Irjen Ferdy Sambo baru mengetahui insiden baku tembak ini setelah ditelepon oleh istrinya yang histeris akibat kasus ini.


“Kadiv Propam pulang ke rumah karena dihubungi istrinya yang histeris. Kadiv Propam sampai di rumah dan mendapati Brigadir J sudah meninggal dunia,” tutur Ramadhan.


Atas kejadian tersebut, Irjen Ferdy Sambo langsung menghubungi Kapolres Jakarta Selatan. Hingga akhirnya dilakukan oleh TKP oleh Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan.


“Saat itu Kadiv Propam langsung menghubungi Kapolres dan selanjutnya dilaksanakan olah TKP,” jelas Ramadhan. 


Bahkan Ramadhan juga menyebut Brigadir J melepaskan tembakan sebanyak 7 kali dan Bharada E membalas dengan mengeluarkan tembakan sebanyak 5 kali hingga Brigadir J tewas.


Kronologi versi Ramadhan:


  1. Brigadir J memasuki rumah Irjen Pol Ferdy Sambo.
  2. Kemudian ada anggota lain Bharada E menegur
  3. Brigadir J mengacungkan senjata
  4. Kemudian melakukan penembakan dan Bharada E
  5. Bharada E menghindar dan membalas tembakan ke arah Brigadir J.
  6. Akibat penembakan mengakibatkan Brigadir J meninggal dunia.


Sejak awal publik dicekoki motif pelecehan seksual yang berlanjut ke adegan tembak-menembak dan diakhiri dengan kematian. 


“Orang hukum pasti paham yang disebut motif tersebut, buat yang awam itu motif bermakna sebagai dorongan (pemicu) untuk melakukan kejahatan,” jelas Syamsul.


“Dari moto Polisi Presisi, ternyata tidak berbanding lurus dengan narasi-narasi yang tidak konsisten dan tidak komprehensif. Kebohongan sudah digelar lewat prarekonstruksi dan autopsi kilat,” tandas Syamsul Arifin. 


Polisi mengklaim peristiwa saling tembak itu terjadi setelah adanya pelecehan seksual yang dilakukan Brigadir J istri Ferdy. 


Menurut polisi pula, istri Ferdy Sambo saat berteriak meminta tolong saat Joshua melakukan pelecehan seksual di kamarnya di lantai satu. Mendengar teriakan itu, Bharada E yang berada di lantai 2 langsung bereaksi mengecek lokasi. (*)

close