TUTUP
Hukum

Ferdy Sambo dan Kasus Surat Jalan Palsu Djoko Tjandra, Penjarakan Brigjen Prasetyo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte

Admin
13 August 2022, 9:50 AM WAT
Last Updated 2022-09-06T05:31:21Z
Terdakwa kasus dugaan pemberian suap kepada penegak hukum dan pemufakatan jahat Djoko Tjandra (Foto: Istimewa)

JAKARTA - Irjen Ferdy Sambo jadi tersangka kasus pemubunuhan Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat.


Selama berkarier di kepolisian, Ferdy Sambo tercatat terlibat dalam penyelidikan beberapa kasus.


Salah satunya dalam kasus penerbitan surat jalan palsu Djoko Tjandra, yang menyeret dua petinggi Polri saat itu, Brigjen Prasetyo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte, terkait red notice dan suap.


1. Kasus Korupsi dan Pelarian Djoko Tjandra


Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan merupakan seorang pengusaha sekaligus buronan korupsi Indonesia. Pada 2009, sehari sebelum Djoko Tjandra dijebloskan ke penjara karena perannya dalam penggelapan dana perbankan, dia melarikan diri ke Papua Nugini.


Selama pelariannya, Djoko Tjandra bahkan sempat menjadi warga negara Papua Nugini (PN). Menteri Luar Negeri PN saat itu, Ano Pala memberikan kewarganegaraan PN kepada Djoko Tjandra meski tak memenuhi persyaratan konstitusional.


Kasus Djoko Tjandra terkait cessie (hak tagih) Bank Bali bermula saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997.


Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.


Satu dekade lebih berselang, pada 29 Juni 2020, Jaksa Agung Indonesia ST Burhanuddin mengatakan Djoko Tjandra telah berada di Indonesia selama tiga bulan terakhir.


Kemudian Djoko Tjandra dijadwalkan muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 Juli 2020 untuk sidang pemeriksaan kasusnya.


Tetapi dia tidak muncul. Pengacaranya, Anita Kolopaking, mengklaim bahwa dia berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Djoko Tjandra dirawat karena penyakit yang tidak dikemukakan.


Sementara itu, Juru bicara Imigrasi Indonesia Arvin Gumilang bersikeras tidak ada catatan Djoko Tjandra terbang ke Malaysia.


Secara terpisah, Kepala Biro Pengawasan dan Koordinasi Penyelidik Pegawai Negeri Sipil di Bareskrim Polri, Brigjen Prasetyo Utomo, dilaporkan mengeluarkan surat perjalanan pada 18 Juni 2020.


Surat itu memungkinkan Djoko Tjandra terbang dari Jakarta ke Pontianak, Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni.


2. Penangkapan Djoko Tjandra di Malaysia 


Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus korupsi hak tagih (cassie) Bank Bali yang kasusnya bermula sejak 1999.


Irjen Ferdy Sambo yang saat itu menjabat Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri berpangkat Brigjen Polisi atau Jenderal Bintang Satu, ikut dalam penangkapan Djoko Tjandra di sebuah unit apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2020 lalu.


Ketika itu tersangka korupsi Djoko Tjandra bisa keluar-masuk Indonesia dengan leluasa, dan kemudian diketahui melibatkan oknum di Mabes Polri, Brigjen Prasetyo Utomo.


Penangkapan Djoko Tjandra dilakukan Polri setelah berkoordinasi dengan Polisi Diraja Malaysia (PDRM) yakni Inspektur Jenderal of Police Malaysia Abdul Hamid bin Bador pada 23 Juli 2020.


Ferdy Sambo juga turut menangkap Djoko Tjandra setelah berkoordinasi dengan Polisi Diraja Malaysia (PDRM) yakni Inspektur Jenderal of Police Malaysia Abdul Hamid bin Bador pada tanggal 23 Juli 2020 lalu.


Dalam kasus tersebut, Ferdy Sambo menjerat rekannya Brigjen Prasetijo Utomo yang terlibat penerbitan surat jalan palsu Djoko Tjandra selama menjadi buronan Polri.


"Seharusnya setiap anggota Polri yang menjadi penyidik memahami Perkap 6 Tahun 2019," kata Ferdy Sambo kala itu, menyebut peraturan Kapolri tentang penyidikan tindak pidana.


3. Ferdy Sambo Vs Napoleon Bonaparte dan Red Notice Djoko Tjandra


Ferdy Sambo yang menjabat Kadiv Propam saat itu mengatakan bahwa terdakwa perkara penerimaan suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus red notice dan DPO di Imigrasi adalah Irjen Napoleon Bonaparte, yang masih berstatus polisi aktif. 


“Irjen NB (Napoleon Bonaparte) statusnya masih anggota Polri aktif,” kata Irjen Ferdy Sambo kepada wartawan, 20 September 2020.


Sambo mengatakan saat itu Komisi Kode Etik Polri menyiapkan sidang kode etik terhadap Napoleon Bonaparte, apabila putusan terhadap yang bersangkutan telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.


“Sebab, diketahui NB mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menghukum vonis empat tahun penjara dalam kasus red notice Djoko Tjandra,” kata Irjen Ferdy Sambo. 


Hakim menyatakan Napoleon terbukti menerima Sin$ 200 ribu dan US$ 370 ribu dari Djoko Tjandra. 


Uang itu diberikan agar Napoleon membantu menghapus Djoko Tjandra dari status daftar pencarian orang sistem Imigrasi.


Penghapusan itu membuat Djoko Tjandra, selaku buronan kasus korupsi cessie Bank Bali bisa masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan praperadilan.


Vonis Irjen Napoleon lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu 3 tahun penjara. 


Irjen Napoleon membantah telah menerima suap.


"Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini, saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding," kata dia seusai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 10 Maret 2021.


Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri ini sebelumnya mengajukan banding atas vonis 4 tahun penjara dalam kasus suap red notice Djoko Tjandra. 


"Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Maret 2021 Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2020/PM.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," seperti dikutip dari salinan putusan Pengadilan Tinggi pada Rabu, 28 Juli 2021.


Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara dalam kasus suap red notice Djoko Tjandra. Selain itu, Napoleon juga dijatuhi denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.


4. Kronologi kejadian kasus surat jalan palsu


Kasus surat jalan palsu ini bermula ketika Djoko Tjandra berencana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atau PK.


Saat itu, dia mendaftar melalui pengacaranya, Anita Kolopaking. Tetapi permohonan itu ditolak, karena yang harus mengajukan pendaftaran adalah Djoko Tjandra sendiri. Sedangkan Djoko sedang berada di Malaysia, menghindari eksekusi atas perkara korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali.


Khawatir tertangkap bila ke Indonesia tanpa persiapan, Djoko Tjandra kemudian meminta bantuan Anita. Pengacaranya itu diminta untuk menghubungi Tommy Sumardi guna mengatur keberangkatannya ke Indonesia dan segala urusan di Jakarta.


Tommy kemudian memperkenalkan Anita dengan Prasetyo Utomo. Anita lalu bertandang ke Gedung Bareskrim, menemui Prasetyo pada 29 April 2020. Pertemuan itu untuk mempresentasikan persoalan hukum serta rencana mendatangkan Djoko ke Indonesia.


Kemudian pada 24 Mei, Djoko Tjandra memberitahukan Anita, dirinya akan segera ke Indonesia untuk mendaftar PK. Anita pun menghubungi Prasetyo, memberitahukan rencana kliennya itu. Selain itu, Anita juga meminta Prasetyo agar ada anggota polisi yang membantu dan menemani Djoko Tjandra mencari rumah sakit untuk keperluan tes kesehatan Covid-19. Prasetyo hanya menjawab “ada” kepada Anita.


Tak kunjung mendapat follow up selama beberapa hari, Anita kembali menghubungi Prasetyo.


Prasetyo kemudian mengatakan kepada Anita Kolopaking, dia sendiri yang bakal mengurus dokumen untuk Djoko Tjandra. Dokumen berupa surat jalan dan surat bebas Covid-19 atas nama Djoko Tjandra pun jadi.


Surat jalan itu digunakan Djoko Tjandra untuk pergi ke Pontianak urusan bisnis. Dokumen itu juga diperuntukkan ketika Djoko Tjandra akan membuat paspor dengan identitas baru.


Namun, belakangan dokumen tersebut diketahui palsu. Sebab, surat jalan yang sah adalah yang ditandatangani Kepala Bareskrim Polri, bukan Kepala Biro Pengawasan dan Koordinasi Penyelidik Pegawai Negeri Sipil.


Tak hanya itu, Djoko Tjandra juga tak pernah dilakukan rapid test untuk surat bebas Covid-19.


Djoko Tjandra mengetahui sejumlah dokumen tersebut isinya tidak benar, karena bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya.


“Namun terdakwa tetap menggunakan dokumen-dokumen tersebut,” ucap Jaksa ujar Jaksa Yeni saat membacakan dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Selasa, 13 Oktober 2020.


5. Fakta surat jalan palsu Djoko Tjandra


Dalam surat jalan tersebut, Djoko Tjandra diduga berpura-pura sebagai konsultan untuk bepergian dari Jakarta ke Pontianak, dengan keperluan konsultasi dan koordinasi.


Adapun angkutan yang digunakan sebagaimana tertulis dalam surat adalah pesawat terbang. Djoko berangkat pada 19 Juni 2020 dan kembali pada 22 Juni 2020.


“Membawa perlengkapan yang diperlukan,” demikian tertulis dalam catatan.


Sementara menurut Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, format surat jalan yang dikeluarkan Prasetyo sebenarnya diperuntukkan untuk lingkungan internal. Selain itu, Argo mengatakan, penerbitan surat jalan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan pimpinan. 


“Surat jalan itu untuk internal, untuk penugasan direktur atau karo di Bareskrim Polri saat ke luar kota, dan seharusnya dilakukan oleh Kabareskrim atau Wakabareskrim,” kata Argo di kantornya, Jakarta Selatan, pada Rabu, 15 Juli 2020.


6. Nasib Prasetyo Utomo


Setelah terbukti melakukan pelanggaran terkait penerbitan surat jalan Djoko Tjandra, Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis kemudian secara resmi mencopot Brigjen Prasetyo Utomo sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.


Prastyo juga ditahan di ruangan khusus selama 14 hari saat menjalani proses pemeriksaan. Divisi Profesi dan Pengamanan menyatakan Prasetyo melanggar aturan.


“Ya saya perintahkan yang bersangkutan untuk dicopot dan dilakukan pemeriksaan oleh Propam,” kata Idham Aziz saat dihubungi pada Rabu, 15 Juli 2020.


7. Prasetyo ditetapkan sebagai terdakwa dan divonis penjara


Prasetyo Utomo ditetapkan sebagai terdakwa kasus surat jalan palsu Djoko Tjandra. Dalam kasus ini, ditemukan bahwa Prasetyo secara inisiatif membuat dokumen palsu untuk Djoko Tjandra.


Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Yeni Trimulyani di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Selasa, 13 Oktober 2020, Prasetyo disebut mencoret nama atasannya agar surat jalan palsu itu dapat terbit.


Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian memvonis Djoko Tjandra 2,5 tahun penjara karena terbukti memalsukan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan. 


Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Timur yaitu 2 tahun penjara.


“Memutuskan, menyatakan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama dan berlanjut membuat surat palsu,” kata Ketua Majelis Hakim M Siradj dalam sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Selasa, 22 Desember 2020. (*)


Sumber: Tempo.co

close