TUTUP
Hukum

Polisi Pemutilasi Anggota DPRD Bandar Lampung Divonis Hukum Mati

Admin
18 April 2017, 3:50 PM WAT
Last Updated 2017-04-19T01:38:33Z
Brigadir Medi Andika (ist)

SABURAI  - Sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang akhirnya menjatuhkan hukuman mati terhadap anggota Polresta Bandar Lampung Brigadir Medi Andika.

Terdakwa kasus mutilasi anggota DPRD Bandar Lampung M Pansor itu terbukti melakukan tindak pembunuhan berencana terhadap korban.

"Menjatuhkan hukuman pidana mati terhadap terdakwa," ujar hakim ketua Minanoer Rachman saat persidangan di PN Tanjungkarang, Senin (17/4/2017).

Putusan ini disambut tepuk tangan Umi Kalsum, istri Pansor, dan para kerabatnya. Umi, Melisa, anak perempuan Pansor, dan kerabatnya, Mimi, langsung berpelukan sembari menangis.

Tidak hanya Umi, Medi juga terlihat tepuk tangan usai hakim membacakan putusan. Wajah Medi tetap terlihat tenang duduk di kursi pesakitan, meskipun divonis pidana mati.

Di dalam putusannya, majelis hakim menyatakan tidak ada hal yang meringankan bagi Medi.

"Belum pernahnya terdakwa dihukum tidak akan dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan," kata Minanoer Rachman.

Sedangkan hal yang memberatkan, menurut Minanoer, adalah Medi melakukan pembunuhan berencana dengan cara memutilasi Pansor saat dalam keadaan hidup.

Medi lalu membakar dan membuang potongan tubuh secara terpisah untuk menghilangkan jejak.

Hal memberatkan lainnya yaitu Pansor adalah sahabat Medi yang ikut menopang Medi menyelesaikan jenjang pendidikan. Selanjutnya, Medi mengambil barang korban dan menggadaikan mobil korban.

"Terdakwa juga tidak mengakui perbuatannya dan tidak berterus terang saat memberikan keterangan," tutur Minanoer.

Majelis hakim menilai Medi terbukti melakukan tindak pembunuhan berencana terhadap Pansor. Dari fakta-fakta dan bukti di persidangan, majelis hakim menilai perbuatan Medi memenuhi unsur pasal 340 KUHP.

Hakim anggota Yus Enidar mengutarakan, Medi terbukti menembak Pansor di dalam mobil Toyota Innova milik Pansor di Jalan Endro Suratmin, depan lapangan tembak Sukarame. 

Medi lalu membawa Pansor ke rumahnya di Perumahan Permata Biru. Di rumah tersebut, Medi memotong-motong tubuh Pansor. 

Kendati Medi membantah, Yus Enidar mengatakan, ada keterangan saksi dan bukti ilmiah berupa tracking ponsel yang mendukung bahwa Medi membunuh Pansor.

Majelis hakim juga menanggapi pembelaan kuasa hukum Medi, yang menyatakan bahwa alat bukti yang disebutkan penuntut umum adalah rekayasa dan manipulatif. 

Menurut Yus Enidar, keterangan tersebut tidak didukung dengan bukti-bukti.

Hal yang menguatkan lainnya adalah keterangan saksi Heru. Medi sempat beralibi bahwa bertemu dengan Heru pada Jumat 15 April 2016 sore, di hari ketika Pansor terbunuh.

Medi ketika itu menyerahkan STNK motor ke Heru. Namun faktanya, keterangan Heru, kata Yus Enidar, menyatakan bahwa Heru bertemu Medi tiga hari sebelumnya yaitu hari Selasa.

Terbukti Berencana
Majelis hakim juga menyatakan bahwa unsur direncanakan terlebih dahulu terbukti. 

Ini tergambar saat Medi sudah menghubungi Tarmidi dua hari sebelum Pansor dieksekusi. Medi menghubungi Tarmidi meminta diantar ke Martapura pada Jumat, 15 April 2016, hari tewasnya Pansor.

Hakim anggota Mansur mengatakan, Medi lalu mengeksekusi Pansor di dalam mobil Pansor di depan lapangan tembak Sukarame.

"Itu dilakukan terdakwa karena sakit hati," ujarnya.

Beberapa bulan sebelumnya, Medi juga sempat bertemu dengan anggota Kostrad bernama Ruslin di Jakarta. Ketika itu Medi pura-pura ingin membeli mobil untuk istrinya.

Usai membunuh Pansor, Medi sempat menghubungi Ruslin menanyakan bisa tidaknya menerima mobil gadaian.

"Terdapat tempo merencanakan terlebih dahulu dan ada niat yang berhubungan langsung untuk membunuh Pansor pada Jumat," ujar Mansur.

Dari keterangan para ahli, menurut Mansur, Medi memutilasi korban saat dalam keadaan hidup di rumah Medi di Perumahan Permata Biru.

Selain pertimbangan unsur-unsur dalam delik pasal, ada beberapa hal yang membuat majelis hakim yakin bahwa Medi adalah pembunuh Pansor.

Hakim ketua Minanoer Rachman mengutarakan, adanya korban harus ada yang bertanggungjawab atau penyebab adanya korban.

"Berdasarkan saksi, saksi ahli, scientific evidence yang didapat dari persidangan, terdakwalah yang bertanggungjawab atas kematian Pansor," ucap Minanoer. 

Keyakinan ini, lanjut Minanoer, diperoleh dengan diamnya terdakwa. Menurut dia, bungkamnya Medi justru menyulitkan proses persidangan dan mengidentifikasi tentang perbuatan yang dilakukan.

Mengenai pernyataan Medi dalam duplik, menurut Minanoer, adalah pernyataan yang harus dibuktikan terlebih dahulu.

Di dalam dupliknya, Medi menyatakan tidak membunuh Pansor. 

Medi menyatakan ada orang orang bernama Anton, atas permintaan Umi untuk memberikan pelajaran ke korban karena berpacaran dengan Yulinar.

Akan tetapi, kata Minanoer, terungkap di persidangan pada Rabu 13 April 2016, Medi menelepon Tarmidi meminta ditemani ke Martapura.

Sebelum berangkat ke Martapura, Medi mengambil jam tangan Pansor di dekat lapangan tembak.

Pada Senin 18 April 2016, Medi mengajak Umi ke rumah Yulinar Prihartini, teman dekat Pansor.

"Umi sempat bertanya, Med kamu ngasih tahu ke saya sampai di sini apakah kita dimarahi Pansor. Dijawab Medi apa boleh buat mbak. Inilah hal-hal yang membuat hakim yakin," jelas Minanoer.

Mengenai alibi Medi yang dituangkan dalam dupliknya, menurut Minanoer, perlu proses pembuktian. 

"Pernyataan Medi bahwa kematian Pansor adalah peran dari Umi, istri Pansor, tidaklah didukung bukti maka harus dikesampingkan," ujarnya, seperti dilansir Tribunlampung.

Akan Banding
Sementara Sopian Sitepu, kuasa hukum Medi, mengatakan akan mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim.

Sopian menganggap majelis hakim memvonis mati Medi tidak berdasarkan bukti di persidangan melainkan berdasarkan keyakinan hakim.

Sopian mengutarakan, tidak ada bukti bahwa Medi menembak Pansor di dalam mobil.

"Bukti balistiknya negatif. Peluru yang ditemukan dari tubuh Pansor bukan berasal dari senjata api Medi. Jadi tidak ada bukti yang menyatakan Medi menembak Pansor lalu memutilasinya," tegas Sopian.

Bersyukur
Malhan Bastari, juru bicara keluarga Pansor, mengaku puas dengan putusan majelis hakim. Malhan mengatakan, vonis mati itu sudah sesuai dengan harapan keluarga. 

Meskipun, menurut dia, belum setimpal dengan perbuatan terdakwa terhadap Pansor.

"Kami bersyukur, alhamdulillah, putusan hakim sudah sesuai harapan keluarga," kata Malhan Bastari seusai persidangan.

Terkait pernyataan Medi dalam duplik yang menyebut keterlibatan Umi Kalsum, istri Pansor, dan sosok Anton yang disebut sebagai eksekutor, Malhan mengaku menyerahkan kepada pihak penegak hukum.

"Soal itu biarkan penegak hukum yang menindaklanjuti. Kami sekeluarga menyerahkan semuanya kepada penegak hukum, karena keluarga juga masih mempertimbangan anak-anak almarhum yang punya ikatan darah dengan kami," jelas Malhan.

Terpisah, Direktur Kriminal Umum Polda Lampung Kombes Heri Sumarji mengatakan sudah memerintahkan penyidik untuk melakukan pemeriksaan terhadap Medi dan Umi Kalsum. Pemeriksaan terkait pernyataan Medi dalam dupliknya di persidangan.

"Saya sudah perintahkan penyidik untuk segera memeriksa Medi dan Umi Kalsum. Soal kapan, secepatnya," ujar Heri, Senin.

"Ucapan dia (Medi) itu perlu dibuktikan. Soal Anton (disebut-sebut eksekutor) itu kan yang tahu dia (Medi), makanya akan kita periksa," kata Heri.

Jera
Akademisi Hukum Universitas Lampung, Wahyu Sasongko, menilai Medi lebih pantas dijatuhi hukuman seumur hidup.

Menurut dia, filosofi hukuman adalah membuat orang menderita, sekaligus membuat orang jera.

"Hukuman itu bukan sebagai upaya balas dendam untuk membuat pelaku kejahatan mati seketika," kata Wahyu.

Ia mengatakan, manusia diberikan hak hidup oleh Sang Maha Kuasa. Kematian manusia pun menjadi hak dari Maha Kuasa, bukan ditentukan manusia.

"Hukuman seumur hidup bisa membuat Medi lebih menderita dibanding hukuman mati yang dilakukan sekejap. Sekaligus juga bisa membuat terpidana bertobat dan berupaya memperbaiki kesalahan yang telah dilakukannya," kata Wahyu. (*)
close