TUTUP
Kesehatan

Sunat Perempuan, Kontroversi Permenkes?

Admin
07 August 2011, 8:34 PM WAT
Last Updated 2022-08-29T00:13:45Z
foto: illustrasi. (net)
KESIMPANGSIURAN soal sunat perempuan merebak karena sikap mendua Kementerian Kesehatan. November tahun lalu, instansi ini mengeluarkan peraturan sunat perempuan yang harus dilakukan oleh petugas medis.

Aturan ini bertolak belakang dari Surat Edaran instansi itu sendiri pada 2006 lalu yang melarang sunat perempuan. Ada apa dibalik 2 aturan yang saling bertolak belakang ini? Bagaimana pula kisah perempuan korban sunat? Reporter KBR68H Rumondang Nainggolan menuliskan laporannya untuk anda.

Kisah Mereka Yang Disunat

Angela Dewi atau akrab dipanggil Dela masih ingat peristiwa sunat yang dialaminya saat berumur 11 tahun. Kala itu Bidan menggores klitorisnya dengan silet. Bius yang disuntikkan dalam tubuh ternyata tidak bekerja optimal. Akibatnya, sakit yang tak tertahankan harus dirasakan perempuan asal Sumatera Barat ini.

"Trauma sih terus terang trauma dan pada saat menunggu giliran itu aku deg-degan sekali. Deg-degan dan di dalam itu aku menangis meraung-raung karena ini rasa sakit yang baru. Kalau kita anak-anakkan tahu rasa sakit jatuh itu seperti apa, sakit gigi seperti apa, dicubit seperti apa. Ini rasa sakit yang baru dan menurutku puncak rasa sakit ya itu."

Dela bercerita, saat itu keluarganya sedang berlibur di kampung halaman di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Satu siang, dia dan kedua adik perempuannya dibawa ke sebuah klinik bidan.

"Waktu itu enggak ada pasien lain, aku dan adik-adikku aja. Kita dipanggil satu persatu ke dalam ruangan praktek bidannya itu, duduk di kursi yang tinggi seperti di dokter gigi, mencopot pakaian dalam. Kebetulan bidannya masih keluarga juga, ada 2 asistennya yang memegangi terus dibius,(bidannya bilang) 'agak sakit ya tahan'."

Dela dan kedua adik perempuannya disunat. Menurut orang tua Dela, sunat perempuan adalah perintah agama. Dela kecil belum paham soal itu. Rasa sakit akibat sunat memang hanya dirasakan selama beberapa hari, namun syok yang ditimbulkan menjadi trauma. Bahkan setelah dewasa, rasa sakit itu sempat membuatnya takut berhubungan intim dengan suami.

"Kalau dari fisik mungkin sakitnya udah enggak tapi perasaan trauma karena bagian intim kita digores pada saat kita sudah tahu artinya kayak gitu. Maaf kalau misalnya berhubungan gitu ya, ada memori yang balik lagi kayak gitu. Oh ini pasti sakitnya kayak waktu disunat dulu gak ya? kira-kira gitu. Jadi aku berusaha membuat komparasi rasa sakit di bagian intim itu pada waktu di sunat."

Trauma ini pula yang membuat Dela akhirnya memutuskan tidak melakukan sunat dan tindik pada anak perempuannya.

Jika sunat pada pria diartikan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis, maka artinya berbeda pada sunat perempuan. Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, ada beberapa jenis sunat pada perempuan, diantaranya menghilangkan bagian permukaan dengan atau tanpa pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris, dan pengangkatan klitoris diikuti pengangkatan sebagian atau seluruh bibir kecil vagina. Sementara di Indonesia prakteknyapun beragam, seperti melukai atau menggores klitoris, menusuk, atau hanya sekedar ritus dengan menempelkan kunyit pada klitoris.

Kisah lain dialami Nong Darol Mahmada. Anak perempuannya disunat oleh perawat rumah sakit tanpa pemberitahuan pada dirinya. Saat itu, 7 tahun lalu, Nong melahirkan anak pertamanya di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Perawat rumah sakit beralasan, sunat menjadi satu paket dengan tindik kuping.

"Awalnya marah saya dan yang saya lakukan pertama kali itu langsung mengecek vagina anak saya apakah terjadi sesuatu atau tidak, ada goresan atau tidak, ada luka atau tidak, berdarah atau tidak dan lain-lain tapi alhamdullilah tidak."

Nong marah, tidak terima dengan tindakan itu, ia pun protes pada perawat.

"Saya bilang ke susternya saat itu gak bisa seperti itu, apapun itu harus dibilangin dulu, harus persetujuan orang tua dulu. Jangan mentang-mentang orang tuanya Islam terus dengan sendirinya bisa melakukan sunat pada anaknya, itu tidak bisa."

Dari awal Nong memang tidak setuju dengan sunat perempuan. Apalagi dia juga merupakan korban saat berumur sekitar 4 tahun. Meskipun sunat yang dijalaninya hanya berupa ritual menempelkan kunyit pada klitoris sesuai adat Banten tempatnya berasal. Menurut Nong, sunat hanya sebagai bentuk pengontrolan tubuh perempuan.

Berbeda dengan yang dialami Dela dan Nong. Kania Dewi mengaku sadar saat memutuskan menyunatkan anak perempuannya. Saat itu yang dia tahu, melakukan sunat berarti menjalankan perintah agama.

"Setahu saya sunat perempuan itu sunnah, sayakan masih awam jadi nanya ke orang tua dulu, ibu. Gimana ma kalau sunat perempuan, apa si eneng harus disunat juga? (kata mama) itu terserah, kalau menurut agama begini, gak juga gak apa-apa, tapi lebih baik kalau disunat biar nafsu seksnya tidak tinggi. Akukan sebagai anak cuma nurut-nurut aja, ya sudahlah disunat."

Namun, sebuah artikel tentang sunat perempuan membuat ibu 2 anak ini terkejut saat mengetahui resiko yang bisa timbul akibat tindakan itu.

"Berapa tahun kemudian dia sudah besar baru saya menemukan artikel yang membuat saya 'Aduh ternyata sunat perempuan itu banyak mudaratnya' saya udah lupa apa aja isinya. Entah artikel itu ditulis begitu bagus sampai saya rasanya nyesak gitu ya, kayak yang aduh kok begini banget ya sunat perempuan itu.”

Kania merasa sangat menyesal setelah membaca artikel itu. Ia berusaha membuang ingatan tentang isi artikel dan peristiwa penyunatan itu.



Asal Usul Sunat dan Manfaat Kesehatannya

Ramonasari dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI berpendapat, sunat perempuan tidak diperlukan sama sekali. Pasalnya, menurut perempuan yang berprofesi sebagai dokter ini, sunat perempuan tidak berguna bagi kesehatan, berbeda dengan sunat pada laki-laki.

"Kalau sunat laki-laki yang dipotong atau sunat itu adalah bagian yang ketat di kepala penis. Itu memang harus dilakukan karena dengan sempitnya kulit tersebut membuat seorang laki-laki sulit membersihkan daerah kelaminnya tersebut. Tapi pada perempuan klitoris itu memang tidak tertutup apa-apa jadi tidak perlu ada bagian yang disunat. Sebetulnya Tuhan memberikan klitoris pada perempuan karena itu banyak saraf-saraf yang sensitif sekali dan sebetulnya itu berguna untuk seorang perempuan agar bisa enjoy menikmati hubungan seksual."

Mengontrol nafsu seksual perempuan menjadi salah satu alasan dilakukannya sunat perempuan. Sunat yang berasal dari tradisi Afrika ini diyakini membuat nafsu seks seorang perempuan berkurang sehingga akan mengurangi perselingkuhan. Namun menurut pengamat kesehatan dari Yayasan Kesehatan Perempuan, Kartono Muhammad, tindakan ini justru menjadikan perempuan sebagai mesin seks bagi laki-laki.

"Dulu suku Swahili, suku Masai itu memotong klitoris perempuan maksudnya supaya dia tidak selingkuh nantinya kalau dia sudah dewasa, menikah. Supaya kalau ditinggal berburu atau mengurusi ternak di hutankan berhari-hari, mereka tidak selingkuh, karena tidak ada dorongan seks lagi. Kalau klitoris dipotong sama sekali apalagi kalau bibir kecilnya dipotong maka tidak ada lagi gairah seks, kayak laki-laki impoten aja. Atau kalau menjadi sikratiks atau bekas luka yang keras kalau dia lakukan hubungan seks juga sakit."

Tradisi sunat diyakini berasal dari Afrika dan kemudian menyebar ke wilayah lain di dunia, bercampur dengan perkembangan agama seperti Yahudi, Kristen, dan Islam. Praktik sunat perempuan masih ditemukan diantaranya di Kenya dan Uganda di Afrika, Brazil dan Peru di Amerika Latin, serta Yaman dan Oman di Timur Tengah. Sementara di Indonesia menurut Penelitian LSM Population Council pada 2001-2003, sunat perempuan dilakukan di beberapa daerah seperti Padang, Serang, Makasar, dan Gorontalo.

Pro-Kontra Permenkes Soal Sunat


Kementerian Kesehatan pernah melarang sunat perempuan di Indonesia melalui surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat 2006 lalu. Aturan ini menyebutkan sunat perempuan tidak bermanfaat bagi kesehatan namun justru merugikan dan menyakitkan sehingga tenaga medis tidak boleh membantu melakukan praktik tersebut.

Efek sunat bagi perempuan memang beragam. Ramonasari dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI menyebutkan, sunat bisa mengakibatkan gangguan menstruasi hingga kemandulan.

"Ada efek samping yang mungkin terjadi nanti ketika proses penyembuhan karena cara pemotongan yang terlalu luas atau terlalu lebar dan juga ada infeksi, itu terjadi perlekatan sehingga akan mengganggu perempuan itu kalau kencing dan juga darah menstruasi. Ada yang mengatakan di beberapa tahun kemudian kemungkinan perempuan itu tidak bisa menikmati hubungan seks dan bisa terjadi kemandulan."

November tahun lalu keluar Peraturan Menteri Kesehatan yang bertolak belakang dengan surat edaran 2006. Permenkes menyebutkan sunat perempuan hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan seperti dokter atau perawat. Direktur Bina Kesehatan Ibu, Kementerian Kesehatan, Ina Hernawati beralasan, aturan ini dikeluarkan untuk melindungi anak dan perempuan dari praktek sunat yang tidak sehat.

"Ibu membawa bayinya disunat dengan dilarang petugas melakukan waktu itu maka ia pergi ke tenaga tradisional. Tenaga tradisional yang biasanya melakukan sunat lelaki, kita takutnya itu akan ada tindakan yang justru membahayakan, membuat perlukaan dan sebagainya yang akan berdampak negatif, buruk pada kesehatan reproduksi, bahkan bisa menimbulkan infeksi pada bayi yang menyebabkan tetanus dan sebagainya."

Pengamat kesehatan dari Yayasan Kesehatan Perempuan yang juga bekas Ketua Ikatan Dokter Indonesia IDI, Kartono Muhammad menilai aturan ini sebagai kemunduran.

"Karena dulunya Menteri Kesehatan sudah menegaskan para medis atau dokter dilarang melakukan atau menawarkan jasa sunat pada anak perempuan, sekarang boleh, saya kira itu satu kemunduran. Dengan tidak boleh, itu memang tujuannya melindungi anak perempuan dari kekerasan, kedua melindungi dari kemungkinan infeksi, cacat, dan sebagainya, dan ketiga melindungi dari komersialisasi kayak yang dibilang ada paket. Jadi lebih baik dilarang saja."

Komersialiasi sunat perempuan tampaknya memang berpeluang terbuka kembali. Ada rumah sakit memang yang tidak menganjurkan sunat perempuan. Tapi beberapa rumah sakit ada pula yang menawarkan sunat perempuan serta tindik kuping dalam satu paket biaya melahirkan. Harganyapun lumayan. Di salah satu rumah sakit ibu dan anak swasta terkenal di Jakarta misalnya, harga paket untuk sunat dan tindik dibandrol 500 hingga 600 ribu rupiah.

Adanya indikasi kepentingan bisnis ini dibantah oleh Direktur Bina Kesehatan Ibu, Kementerian Kesehatan, Ina Hernawati.

"Ada orang yang minta, ada demand. Orang yang masih punya kepercayaan agama, ritual, si masyarakat. Selama ada demand kita sebagai supply harus menyediakan. Kalau tidak nanti mereka butuh mereka akan pergi ke orang yang tidak punya kompetensi untuk itu malah nanti berakhir dengan komplikasi, tindakan kekerasan, pemotongan, dan tidak aman."

Ina juga menyatakan Kementerian Kesehatan tidak berhak melarang masyarakat melaksanakan apa yang mereka yakini sebagai perintah agama ataupun tradisi.

"Misalnya saya Islam dan saya punya kepercayaan anak perempuan saya harus saya sunat, itu gak bisa dilarang, siapapun gak bisa dilarang karena agama itu adalah keyakinan. Sunat itu adalah ritual agama jadi gak bisa kita larang, wah gak boleh sunat."

Pro dan kontra yang berkembang menilai sunat perempuan sebagai perintah agama, namun ada juga yang menilainya hanya sebagai ritus budaya. Karena itu Pengamat Kesehatan dari Yayasan Kesehatan Perempuan Kartono Muhammad mengatakan, sebaiknya sunat cukup dengan tindakan simbolis saja.

"Kalau toh mau membuat pedoman sunat perempuan sebagai jawaban terhadap tradisi yang masih ada di beberapa kelompok masyarakat Indonesia dan sekaligus sambil melakukan pelurusan mencegah efek buruknya, buat cara sunat perempuan adalah dengan membersihkan daerah klitoris dan sekitarnya dengan zat antiseptik, itu saja."

Pasalnya menurut bekas ketua Ikatan Dokter Indonesia ini, Permenkes tidak akan mampu melindungi perempuan dan anak seperti yang diinginkan, karena tidak ada sanksi bagi para dukun di daerah yang melakukan praktik ini. Dengan kata lain pelanggaran tetap bisa terjadi.

Kini bagi Kania, kesalahan yang pernah dia perbuat pada anaknya tidak boleh terjadi pada anak perempuan lain. Karena itu dia sering melarang saudaranya untuk menyunatkan anak perempuan mereka.

"Adik ipar yang punya anak perempuan nanya, sunat perempuan gimana teh? oh jangan, jangan disunat deh. Ya mungkin berdasarkan artikel yang saya baca itu bahwa sunat itu ada efek traumatis ke anak atau pendarahan. Mungkin nanti setelah dewasa kenikmatan seksual itu, kan perempuan juga berhak untuk menikmati sepuas-puasnya."

Begitu pula dengan Dela. Berangkat dari trauma yang dialaminya, kini ibu 3 anak ini sering menyarankan ibu-ibu di lingkungan tempat tinggalnya untuk berpikir ulang jika ingin menyunat anak perempuan mereka.

"Nanti kalau anaknya perempuan kalau udah lahir diomongin dulu deh, jangan ikut-ikutan aja mau disunat, tahu dululah backgroundnya seperti apa. Aku ajak aja teman-teman untuk memberi penyadaran aja bahwa sunat perempuan hal yang harus kita pikirakan, bukan terjadi begitu saja."

Karena bagi Dela, sunat perempuan merupakan penzaliman terhadap perempuan.

"Dari literatur yang aku baca itu tidak ada penegasan yang benar-benar murni bahwa ini merupakan syariat yang diharuskan dari agama. Aku khawatirnya dari banyak literatur ini merupakan budaya Afrika dari masyarakat Arab untuk mengendalikan anak perempuan. Kalau dari kesehatan sunat laki-laki ada yang bisa kita pertanggungjawabkan dari medis, nah perempuan dari penegasannya saja untuk mengendalikan hawa nafsu. Nah itu dari segi logika aja aku gak bisa terima, aku merasa kalau itu alasan perempuan disunat, penzaliman namanya."

sumber: kbr68h
close